Mohon tunggu...
Marshalleh Adaz
Marshalleh Adaz Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati - Penggiat : Sejarah, Budaya, Cagar Budaya, Permuseuman, Literasi

Menaruh minat terhadap dinamika kecagarbudayaan, sejarah, kebudayaan, permuseuman, literasi dan perkembangan sosial; khususnya terhadap Kota Padang, sebuah kota pesisir pantai Pulau Sumatra di Sumatra Barat. Instagram Padang Lamo Facebook Marshalleh Adaz Tik Tok Marshalleh Adaz You Tuber Padang Budaya Penggagas dan menginisiasi berdirinya Galeri Arsip Statis Kota Padang PADANG KOTA 100 BENTENG

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penyerangan Loji dan HUT Kota Padang Ke 354

3 September 2023   03:31 Diperbarui: 3 September 2023   05:15 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Padang Kota Tercinta, AA Navis dkk, 1973)

Sejarah Kota Padang bagi sebagian orang yang mengetahuinya pada umumnya menarik kesimpulan berdasarkan beberapa buku atau literatur, atau melalui beberapa arsip dan peta di Leiden Belanda dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI, Jakarta). Sebagian orang lainnya pada umumnya berpedoman pada beberapa peninggalan bangunan tua yang masih tersisa di kawasan Sungai Batang Arau, Pasa Mudiak, Pasa Gadang, dan sekitarnya. Kesimpulan itu kemudian diperkuat oleh Rusli Amran, dalam bukunya Padang Riwayatmu Dulu (1986), yang menuliskan bahwa "Hampir sepanjang abad yang lalu, Padang adalah kota metropolitan terbesar di seluruh Pulau Sumatera" (hal. 11). Berarti, diawal-awal abad 18 atau awal tahun 1900-an, Padang telah menjadi kota yang diperhitungkan sepanjang pesisir barat pulau Sumatra.

Jika ditarik lebih jauh sebelum abad 18 ternyata kota ini sudah menjadi idola bagi bangsa asing untuk singgah ataupun menetap demi kepentingan yang dibawanya. Menurut sejarah lisan (tambo), Padang dulunya dihuni oleh perantau Minangkabau jauh sebelum orang Aceh datang (Freek Colombijn, 2006:55). Yang berarti jauh sebelum Aceh menaklukkan pantai barat pada abad ke-16 dan 17. Orang Aceh adalah pendatang asing pertama di Padang. Kepentingan yang dibawa oleh Aceh adalah perniagaan. Secara perlahan Aceh mulai menguasai perniagaan di Kota Padang dengan menggantikan posisi birokrat orang Minang. Para perantau pertama ke Kota Padang tadi menetap di pinggiran selatan Batang Arau yang sekarang dikenal dengan Seberang Padang. Sedangkan perantau yang berasal dari dataran tinggi seperti Agam dan Solok mendirikan desa-desa baru (nagari) seperti di Pauh, Koto Tangah, dan Bungus.

Kekuasaan Aceh di Kota Padang semakin dominan karena di abad yang sama Selat Malaka lebih prospektif dibandingkan Padang. Seperti Portugis yang tidak tertarik dengan pantai barat dan lebih berorientasi di Selat Malaka. Situasi ini dimanfaatkan oleh Belanda dan Inggeris dengan melirik pesisir barat Sumatera karena lada dan emasnya. Aceh harus bersaing pengaruh dagang dengan Portugis di Selat Malaka namun berusaha juga menunjukan dominasinya sehingga menimbulkan ketidaksenangan dari pedagang-pedagang minang.

Para pedagang minang akhirnya bersekutu dengan Belanda yang sudah mendirikan Perusahaan Hindia Timur atau VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) yang berdiri pada tahun 1602. Tawaran ini dipandang sebagai awal untuk mengusir pengaruh dagang Aceh di Padang. Tentunya para sekutu minang tidak mengetahui jika dalam rentang yang hampir sama, Aceh sendiri kewalahan menghadapi monopoli Portugis di Malaka sehingga mulai meminta bantuan bangsa lain, salah satunya Belanda yang pernah menyerang Portugis di Malaka. Dimata Raja Aceh tindakan Belanda ini pantas diminta bantuan. Belanda melihat peluang ini kemudian menyodorkan persetujuan kontrak agar setuju memberikan peluang berniaga disepanjang pesisir barat Sumatera, termasuk Padang. Kontrak itu diajukan dan ditandatangani tanggal 17 Januari 1607 yang terdiri dari 11 pasal. Satu diantaranya berisikan perjanjian dan persetujuan bagi belanda untuk mendirikan benteng untuk tinggal para pegawainya, pedagang pelaut dan tukang-tukang lainnya. Kepada Belanda diberikan kebebasan berdagang tanpa cukai apa pun dan bangsa lainnya tidak boleh berdagang kecuali izin dari Belanda. Pada pasal lain, Kerajaan Aceh dan Belanda akan sama-sama memerangi musuh bersama yaitu Portugis.

Loji dan Pengaruhnya


Tidak salah rasanya jika sekarang ini banyak orang beranggapan bahwa tidak pernah berdirinya sebuah loji di Kota Padang ini. Pertama, bekas bangunan loji itu tidak ada sampai sekarang. Kedua, sedikit sekali tulisan sejarah yang mengupas lengkap tentang loji. Ketiga, arsip-arsip dinegeri Belanda maupun di Indonesia (ANRI misalnya) juga sedikit yang menyinggung masalah loji ini. Sehingga dapat dimaklumi, karena keterbatasan sumber dan ratusan tahun kemudian telah berdiri bangunan pengganti, sehingga generasi sekarang kurang mengetahui keberadaan loji ini.

Beberapa tulisan dalam buku hasil penelitian literatur yang menyampaikan berdirinya loji dapat dilihat dalam buku Padang Kota Tercinta (AA Navis, 1973), Paco-Paco Kota Padang (Freek Colombijn, 2006), Sumatra Barat Hinggaa Plakat Panjang (Rusli Amran, 1981), 326 Tahun Padang Kota Tercinta (Pemda Tingkat II Kotamadya Padang, 1995) dan Pemerintahan Sumatera Barat Dari VOC Hingga Reformasi (Gusti Asnan, 2006).

Loji dapat diartikan sebagai sebuah benteng besar yang mampu menampung semua aktivitas seperti tempat berdirinya tempat tinggal, kantor, gudang, dan kubu pertahanan. Mendirikan sebuah loji memang merupakan obsesi Belanda sendiri. Sehingga Loji bagi Belanda adalah lambang supremasi kekuasaan sekaligus perwujudan monopolinya dibidang perdagangan, politik dan pertahanan keamanan. Pendirian loji di Kota Padang dimulai sejak mulai terciumnya indikasi Kerajaan Aceh mulai kewalahan menghadapi sepak terjang dagang Portugis di Malaka. Pendirian loji ini telah dirintis sejak tahun 1606 dan baru menemukan bentuk idealnya pada perempat abad ke-17. Atau pada tahun 1666 dimana Belanda menjadikan Padang sebagai markas besarnya dipantai barat Sumatra dan membangun benteng (Freek Colombijn, 2006:38).

Loji di Kota Padang berada pada areal yang cukup luas. Loji itu berbentuk empat persegi. Setiap sisi mempunyai panjang hampir 100 m. Pada setiap sisi dibangun tembok tebal dengan tinggi sekitar 6 m. Pada setiap sudut yaitu karena empat persegi maka keempat sudutnya dibangun sebuah menara pengawas dengan ketinggian 8 m. Untuk keamanan disekeliling loji yaitu 5 m dari samping kiri, kanan dan belakang dibuat parit yang dalam dengan lebar 5 m. Loji dimaksud berada di kaki bagian utara Gunung Padang.

Dibagian dalam loji, sebelah kiri ketika melalui pintu gerbang terdapat pos penjagaan (wachthuis) yang selalu dijaga oleh dua orang pengawal bersenjata lengkap. Disebelah kanan pos tadi terdapat rumah komandan pasukan. Dibagian tengah, sebalah kiri dibelakang pos penjagaan terdapat rumah pejabat tertinggi VOC (opperhoofd). Disamping rumah pejabat VOC ini juga terdapat rumah wakil ketua VOC. Disisi kiri bagian belakang dan sisi kanan bagian depan berjejer gudang (pakkhuizen) tempat menyimpan berbagai barang yang akan diekspor atau barang-barang yang akan dijual kepada penduduk setempat. Dan, sisi belakang dan sisi kanan bagian belakang terdapat ruang perkantoran.

Kesan yang ditimbulkan oleh bangunan loji Belanda ini adalah kantor dagang yang merangkap sebagai benteng. Sebab ini bisa diterima indikasi tersebut karena adanya tembok tebal dan tinggi, menara pengawas pada setiap sudut, parit yang dalam, penjagaan yang selalu siaga, bermarkasnya tentara dan marinir Belanda, serta beberapa bangunan untuk pejabat maupun gudang. Berdirinya loji yang lengkap ini menggambarkan begitu pentingnya posisi Padang dalam kegiatan VOC diwilayah barat Sumatra. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa sejak perempat akhir abad ke17 Padang memang telah tumbuh menjadi pusat kegiatan politik dan ekonomi kompeni. Dari kota inilah berbagai kebijakan politik dan ekonomi dirumuskan dan diputuskan.

Peta Posisi Loji

(Sumber: Padang Kota Tercinta, AA Navis dkk, 1973)

 Loji tersebut sekarang sudah tidak ada. Bahkan bekas dan jejaknya tidak ditemukan. Beberapa tulisan sejarah dan sebuah peta lama yang menguatkan jika di Kota Padang pernah ada loji. Disinyalir, salah satu tapak loji itu tepat berada di bekas Padangsche Spaarkbank.  Sebuah bank swasta pernah juga berkantor di bangunan ini. Lokasinya adalah pertigaan jalan ujung timur Batang Arau arah ke klenteng.

Hancurnya Loji

Keberanian pribumi cenderung terabaikan untuk dipublikasikan. Seakan kisah kepahlawanan itu ditujukan kepada seseorang, atau yang menjadi penggerak sebuah aksi perlawanan. Sejarahnya sulit ditemukan karena pada saat peristiwa itu terjadi setiap orang berjuang untuk kemerdekaan yang murni berasal dari hati nurani. Setiap orang baik di dalam kota maupun yang berada di luar Padang kota telah merasakan dampak dengan kehadiran loji itu. Monopoli VOC dan perlakuan sewenang-wenang telah membuat kesabaran masyarakat sampai pada puncaknya. Orang-orang yang berasal dari Koto Tangah dan Pauh (sekarang Pauh dan Kuranji) dan dibantu oleh warga Padang sendiri mengadakan serangkaian penyerangan besar-besaran. Loji itu hancur dalam dua kali penyerangan. Serangan pertama terjadi pada tengah malam 7 Agustus sampai dinihari 8 Agustus 1669. Serangan kedua pada tahun 1670 (Rusli Amran, 1986 :330).

Loji yang sedemikian kokoh dan kuat berhasil dibakar habis. Walaupun pada saat itu VOC berhasil melenyapkan pengauh Aceh dalam persaingan perniagaan atas wilayah Padang. VOC ternyata lalai dan melupakan karakter orang pribumi yang dijajahnya. Rakyat Koto Tangah dan Pauh adalah orang-orang yang gigih, anti penjajah asing dan keras kepala.

Belanda yang sering dipameokan dengan "ibarat Belanda sudah dikasih hatiminta tanah", melakukan adu domba dan pandai mengambil hati, ternyata kehebatannya itu tidak bisa sepenuhnya digunakan kepada rakyat Minangkabau yang tidak mau diatur dan senang memberontak. Belanda harus menerima kenyataan yang tidak sama dengan daerah jajahan lainnya. Diminangkabau Belanda dipusingkan dengan banyaknya raja dan penghulu, orang kaya, sultan dan sebagainya dalam mencari kata sepakat baik untuk berdagang atau urusan lainnya.

 Belanda memang gigih untuk menduduki daerah Minangkabau, ini terbukti dengan berhasilnya mencapatkan kata sepakat dengan Pagaruyung sebagai pusat kerajaan Minangkabau. Belanda bersedia mengakui dan menghormati kekuasaan raja tapi dengan imbalan Raya di Pagaruyung juga harus mengakui pengangkatan Urang Kayo Kaciak sebagai panglima di Kota Padang pada tanggal 18 September 1667.

Abraham Verspreet sebagai kepala VOC waktu itu yang berhasil mempengaruhi raja, kemudian memberi gelar "Yang Dipertuan Gagah" dengan pangkat Mantri Raja sekaligus wakil multak raja Minangkabau. Verspreet dalam setiap tindakannya selalu bertindak atas nama raja Minangkabau yang berdaulat dalam setiap tindakannya. Salah satunya mendirikan loji di kawasan Muaro Padang, yang lebih difungsikan sebagai pusat kemiliteran. Sejak pendirian loji ini VOC Belanda semakin sewenang-wenang mengatur perdagangan dan keamanan. Seakan Belanda sudah diatas angin, bisa bertindak semaunya. Mereka tidak menyadari bahwa orang Padang, Pauh dan Koto Tangah selalu menunjukan reaksi perlawanan.

Penyerangan yang dilakukan malam itu telah direncanakan sematang mungkin dan sempurna. Ditambah dengan dukungan raja Pagaruyung sendiri yang merasa telah ditipu oleh bujuk rayu Verspreet. Dalam beberapa pertemuan penyusunan rencana penyerangan juga dihadiri oleh Barbangso Rajo yang mewakili Raja Pagaruyung. Kehadiran tokoh ini juga didukung oleh beberapa orang bekas panglima tentara Aceh yang memilih bergabung dan tidak pulang kenegerinya.

351 tahun sejak penyerangan itu, 7 Agustus setiap tahunnya dijadikan sebagai hari jadinya Kota Padang. Berdasarkan Surat Keputusan Walikota Padang No. 188.45.2.25/SK.Sek/1986 tanggal 1 Agustus 1986, yang telah disetujui berdasarkan Ketetapan DPRD Tk. II Padang No. 06/II-DPRD/86 tanggal 31 Juli 1986. Penetapan hari jadi tersebut disampaikan berdasarkan hasil kerja tim perumus yang terdiri dari ahli sejarah dan para cendekiawan yang diketuai oleh DR. Taufik Abdullah dua belas tahun sebelum keputusan itu ditetapkan. Tepat pada tanggal 7 Agustus 1986 itu, Kota Padang sudah berusia 317 tahun.

Sekarang, tepat pada hari ini, dimana dini hari tulisan ini dibuat, Padang sudah berusia 351 tahun. Mengenang bahwa didekat Jembatan Sitti Nurbaya pernah ada loji Belanda. Hanya sebuah kelalaian telah kita lakukan dengan ketidaksengajaan dan kurang menghargai makna sejarah kota ini. Sebuah papan berwarna biru yang tepat berada di seberang jalan waterpark mini Batang Arau, tertulis singkat Sejarah Kota Tua, tapi sangat disayangkan tidak menceritakan kebanggaan perjuangan nenek moyang kita dari Pauh dan Koto Tangah seperti disampaikan diatas pada tulisan papan tersebut. Padahal didalamnya juga dicantumkan gambar peta loji itu sendiri. Wajar saja kenapa banyak warga Kota Padang tidak mengetahui makna tanggal 7 Agustus karena minimnya sosialisasi edukasi rutin melalui sebuah media pajangan.

Semoga tulisan sederhana ini dapat meningkatkan kecintaan kita terhadap kota ini. Mencintai kota ini bukan karena kondisi kekinian tapi cinta lestari akan sejarah kelahirannya. Dirgahayu Kota Padang ke 354, tetaplah jadi kota kebanggaan dan kota idaman. Maju dan berkembanglah karena kearifan lokalnya, bukan karena kearifan modernisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun