Mohon tunggu...
Martina PuspitaSari
Martina PuspitaSari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Administrasi Publik

Tetap semangat...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perempuan dan Korupsi

15 Mei 2023   13:37 Diperbarui: 15 Mei 2023   13:51 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

        Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak semua sendi kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi layak disebut kejahatan kemanusiaan. Siapapun bisa menjadi pelaku ataupun korban korupsi. Tidak kenal usia, agama, atau jenis kelamin. Meski demikian, penting bagi kita secara khusus membahas topik perempuan dan korupsi. Mengapa? Setidaknya ada 4 (empat) alasan mendasar, yaitu:

1. Perempuan merupakan korban paling terdampak dari korupsi. 

        Sejumlah hasil penelitian, misalnya yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime atau UNODC, Menunjukkan perempuan lebih parah terdampak korupsi dibandingkan dengan laki-laki. Contoh dan melihat bagaimana perempuan sebagai korban paling terdampak korupsi dalam sektor pelayanan publik dan perempuan merupakan pihak utama yang berurusan dengan pelayanan publik. Hal ini umumnya disebabkan 2 (dua) hal. 

          Pertama, adanya pembagian peran di tengah keluarga dan masyarakat. Perempuan adalah pihak yang dituntut lebih berperan mengurus keperluan sehari-hari. Seperti misalnya mengurus sekolah anak. Alhasil ibu akan lebih banyak berurusan secara langsung dengan perilaku koruptif di sekolah. Misalnya pungli penerimaan siswa baru atau agar anak mendapatkan nilai yang bagus.

Perempuan yang tidak berdaya melawan korupsi atau bahkan tidak tahu bahwa tindakan itu termasuk korupsi akan terus-menerus menjadi korban korupsi. Korupsi yang telah menggurita juga menghambat perempuan untuk maju dan keluar dari lingkaran kemiskinan dan juga ketidaksetaraan gender. 

         Korupsi di pendidikan, misalnya, membuat pendidikan semakin mahal. Pembelian seragam, pemaksaan pembelian buku diktat, pemaksaan untuk les tambahan, dan lain sebagainya tidak membuat pendidikan tidak benar-benar gratis. Orang tua yang memiliki dana terbatas terpaksa memilih menyekolahkan anak laki-laki dibandingkan anak perempuannya. Lagi-lagi perempuan yang dikorbankan Anak perempuan kemudian diarahkan menikah lebih cepat atau mengurus rumah tangga. Padahal, akses terhadap pendidikan merupakan alat efektif untuk mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan gender.

         Kedua,  keterkaitan dengan hal-hal yang bersifat biologis sesuatu yang melekat pada perempuan, seperti menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Contoh, kasus kepolisian di daerah Papua pada Agustus 2022 membongkar korupsi dana hibah provinsi Kabupaten Mappi yang diperuntukan untuk membiayai perawatan ibu hamil. Dana hibah tahun 2014 hingga 2017 senilai sekitar Rp 25,8 M itu, rencananya untuk pemeriksaan kandungan ibu hamil sampai melahirkan. 

        Sayangnya, uang itu digelapkan untuk membeli aset pribadi Hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan atau BPKP menemukan bahwa menemukan kerugian negara Rp 8,5 M atau lebih 30% (tiga puluh persen) dari total anggaran. Tentu, korupsi ini sangat berdampak langsung pada ibu hamil sebagai penerima manfaat program.

2. Terdapat ketidakadilan bagaimana media dan publik melihat perempuan dalam pusaran kasus korupsi.

        Perempuan kerap dituding sebagai penyebab laki-laki atau suami korupsi. Pernyataan ini sering dikemukakan oleh pejabat pemerintah dan bahkan petinggi maupun komisioner. Salah satu pendorong seseorang korupsi memang bisa berasal dari keluarga, baik itu terkait desakan kebutuhan, maupun karena gaya hidup. Tapi, tidak tepat hanya menyorot perempuan atau istri saja karena laki-laki bisa melakukan hal yang sama. Ketidakadilan dalam melihat perempuan pelaku korupsi juga dapat dilihat pada bagaimana media memberitakan perempuan yang korupsi.

         Saat ada perempuan korupsi, banyak ditemukan judul ataupun narasi pemberitaan dengan embel-embel jenis kelamin atau hal-hal yang berkaitan dengan identitas sebagai perempuan. Padahal hal tersebut tidak kontekstual dengan kasus yang membelitnya dan jauh dari kebutuhan publik atas informasi kasus korupsi. Ketidakadilan sorotan media ini juga mencerminkan publik yang bias dalam melihat perempuan sebagai pelaku korupsi atau perempuan dalam pusaran kasus korupsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun