Mohon tunggu...
Markus Lettang
Markus Lettang Mohon Tunggu... Asisten Pengacara Publik LBH Apik Jakarta

Criminal Defense Lawyer

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Berat Di Mulut, Ringan Di Tuntutan: Paradoks Keadilan dalam Peradilan Militer

7 September 2025   21:20 Diperbarui: 8 September 2025   20:08 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Ternyata Di Danau yang Tenang, Ada Gelombang Ketidakadilan." 

I. Pendahuluan

Penulis: Pak, Korban mengalami kekersan seksual. Berikut kami kumpulkan fakta fakta hukum dan analisis terkait perbuatan si tersangka. Perbuatan tersangka memenuhi unsur delik Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 5 Jo. Pasal 15 UU TPKS. Ini faktanya dan bukti-buktinya dan ini analisisnya."

Oditur pada Peradilan Militer  (selanjutnya ditulis oditur  Militer dan/atau oditur): "Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1) UU TPKS ancaman pidananya berapa?. Kalau Pasal 285 KUHP ancaman pidananya maksimal 12 tahun. Kami menggunakan Pasal 12 KUHP karena Pasal 12 KUHP ancaman pidananya lebih tinggi."

Kutipan di atas (parafrase) merupaan menggambarkan proses singkat interaksi antara pendamping korban (penulis) dengan oditur militer. Dalam situasi ini, pendamping korban telah mengumpulkan fakta, bukti, dan melakukan analisis hukum terkait keterpenuhan unsur Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 5 UU Juncto Pasal 15 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Setelah analisis selesai, penulis berkoordinasi dengan  oditur sebagai penuntut di peradilan militer sekaligus pihak yang mewakili kepentingan korban dalam proses persidangan. Tujuan koordinasi ini adalah mendorong oditur mempertimbangkan penggunaan UU TPKS dalam dakwaan dan tuntutan terhadap tersangka sehingga korban memperoleh keadilan yang menyeluruh sesuai ketentuan UU TPKS.

Namun, Oditur a quo menolak permohonan korban yang penulis sampaikan untuk mendakwa pelaku kekerasan seksual menggunakan UU TPKS. Penolakan tersebut didasarkan pada alasan bahwa ancaman pidana dalam Pasal 285 KUHP dianggap lebih berat dibandingkan ketentuan yang diatur dalam UU TPKS.

Penulis kemudian menjelaskan kepada Aparat Penegak Hukum (APH) a quo bahwa keadilan bagi korban tidak hanya diukur dari beratnya hukuman bagi pelaku, tetapi pemenuhan hak korban secara menyeluruh, antara lain, pemulihan dan ganti kerugian, yang secara jelas diatur dalam UU TPKS. Meskipun demikian, APH a quo tetap bersikeras mendakwa dan menuntut terdakwa menggunakan Pasal 285 KUHP. Ironisnya, tuntutan pidana yang diajukan justru lebih ringan dibandingkan ancaman pidana yang ditetapkan dalam UU TPKS.

II. Tesis

Penolakan oditur militer untuk menerapkan UU TPKS dengan alasan ancaman pidana dalam KUHP lebih berat, namun kemudian mengajukan tuntutan yang justru lebih ringan dibandingkan ancaman pidana dalam UU TPKS, mencerminkan orientasi peradilan militer yang tidak berpihak pada pemenuhan hak-hak korban, mengabaikan tujuan substantif UU TPKS, dan menunjukkan adanya praktik manipulatif dalam sistem peradilan militer.

III. Keadilan Bagi Korban Berdasarkan  Hukum Moderen (UU TPKS)

UU TPKS hadir sebagai tonggak perubahan paradigma dalam sistem hukum Indonesia (tren hukum internasional). UU TPKS mengusung keadilan berbasis korban, yaitu suatu pendekatan yang tidak semata mengejar hukuman bagi pelaku, tetapi juga menjamin hak korban atas perlindungan, pendampingan, restitusi, dan rehabilitasi. Di sinilah perbedaannya dengan KUHP yang masih berbasis hukum warisan kolonial yang semata mata menghukum pelaku sebagai cara penguasa menunjukan kekuasaanya (power). Hal mana paradigma UU TPKS mencakup:

  1. Membuat pelaku bertanggung jawab atas tindakannya dengan cara yang berarti bagi korban, bukan menimbulkan reviktimisasi;
  2. Memberdayakan korban dengan memberi mereka suara dalam proses peradilan dan mempromosikan penyembuhan;
  3. Mengurangi dan bahkan menghentikan trauma bagi korban dengan menyediakan proses yang tidak terlalu bersifat konfrontatif dan tidak mengharuskan mereka untuk memberikan kesaksian di pengadilan;
  4. Menghasilkan restitusi dan kompensasi bagi korban;
  5. Membantu memulihkan kerugian termasuk kerugian finansial;
  6. Memberikan penyelesaian yang lebih komprehensif dan berjangka panjang yang mengatasi akar penyebab Kekerasn;

Dalam pada itu, UU TPKS menuntut agar proses penegakan hukum tidak berhenti pada penghukuman, tetapi juga memperhatikan pemulihan korban secara holistik/menyeluruh.

Namun, realitas implementasi di peradilan militer menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara norma dan praktik (das sein dan das sollen). Semangat UU TPKS berhenti pada tataran normatif/teks, menjadikan dokumen hukum tanpa daya operasional.

Dalam praktiknya, oditur militer cenderung mengandalkan KUHP dengan alasan ancaman pidananya lebih berat dibandingkan ketentuan dalam UU TPKS (pasal dalam kutipan di atas). Ironisnya, tuntutan yang diajukan justru lebih ringan daripada ancaman pidana berdasarkan UU TPKS. Fakta ini melemahkan rasionalitas argumentasi/dalil Oditur yang bersangkutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun