Pendekatan ini menimbulkan ketimpangan perlakuan terhadap korban kekerasan seksual, yang tidak hanya kehilangan akses terhadap keadilan, tetapi juga kerap mengalami reviktimisasi akibat proses hukum yang tidak berpihak. Tegasnya, Sistem Peradilan Militer menjadi pelaku kekersan terhadap perempuan.
4. Pergeseran Paradigma Berdasarkan UU TPKS
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) membawa paradigma baru dalam sistem hukum pidana Indonesia. Dalam konsiderans huruf a dan b, serta ketentuan Pasal 21 angka 1 huruf a, Pasal 22, Pasal 26 ayat (3) huruf a, Pasal 57 ayat (2), dan Pasal 60, UU ini menegaskan pentingnya perlindungan terhadap korban sebagai hak asasi manusia. Hal ini dipertegas kembali dalam Bagian I Penjelasan Umum Paragraf (4) yang menyatakan bahwa:
"Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan."
UU TPKS memindahkan titik berat proses hukum dari semata-mata penghukuman pelaku menjadi pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban. Kekerasan seksual dipahami bukan lagi sebagai pelanggaran terhadap negara, melainkan pelanggaran serius terhadap hak-hak individu, seperti hak atas integritas fisik, martabat, rasa aman, dan pengakuan atas penderitaan korban.
Oleh karena itu, Konsekuensi Yuridis paradika baru adalah Negara Wajib Melayani Hak Korban! Dalam paradigma baru ini, negara bukan lagi pihak yang mendominasi proses hukum, melainkan pelayan bagi korban. Negara tidak berwenang menggunakan korban sebagai alat untuk  memenuhi tuntutan pidana. Sebaliknya, negara wajib melibatkan korban secara bermakna dalam seluruh tahapan proses peradilan, dengan antara lain, memberikan informasi yang memadai kepada korban; Menjamin proses yang partisipatif bermakna dan menghormati martabat korban; serta mencegah reviktimisasi setelah maupun sepanjang proses hukum berlangsung. (selanjutnya dapat dibaca pada judul tentang kewajiban APH).
5. Kewajiban Aparat Penegak hukum (Oditur Militer) Â Memberikan Informasi Perkembangan Penaganan Kasus Kepada Korban
Dalam konteks ini, Penulis secara tegas menyampaikan bebrapa aturn sebagai legitimasi Kewajiban Aparat Penegak hukum (Oditur Militer) Â Memberikan Informasi Perkembangan Penaganan Kasus Kepada Korban. Regulasi tersebut antara lain:
a. Korban mempunyai Hak konstitusional  atas informasi informasi publik, termasuk informasi hukum berdasarkan pasal 28F UUD 1945.
Pasal 28F UUD 1945 merupakan dasar konstitusional bagi korban untuk mendapatkan informasi terkait perkembangan perkara hukum, karena informasi tersebut menyangkut hak personal, pemulihan, dan keadilan yang layak didapatkan setiap warga negara.
Hak korban untuk mendapatkan informasi hukum dalam konteks ini selanjutkan ditegaskan kembali dalam Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Pasal 5 huruf f menyatakan bahwa: korban berhak untuk mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
c. Korban mempunyai hak aksesibilitas sistem peradilan pidana sebagaimana Rekomendasi Umum PBB No. 33 tentang Akses Perempuan Terhadap Akses perempuan terhadap keadilan.
Dalam konteks ini, Pada pokoknya: Perempuan berhak atas perlindungan hukum yang efektif, termasuk hak untuk diberitahu tentang proses hukum yang relevan, hak atas informasi, serta hak untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses peradilan."
Berdasarkan seluruh ketentuan di atas, jelaslah bahwa perempuan korban kekerasan dalam yurisdiksi peradilan militer, memiliki hak hukum dan konstitusional untuk memperoleh informasi atas perkembangan perkara hukum yang menyangkut dirinya.
Dalam pada itu,  aparat penegak hukum  dalam sistem peradilan militer (Oditur) berkewajiban secara hukum, konstitusional, dan etis untuk memberikan informasi hukum kepada korban. Penolakan atau pengabaian terhadap hak ini merupakan bentuk pelanggaran hukum, konstitusional  dan pelanggaran hak asasi manusia.