Mohon tunggu...
Marjohan Usman
Marjohan Usman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya seorang guru (SMAN 3 Batusangkar), penulis dan juga peduli pada pendidikan Buku saya : SCHOOL HEALING MENYEMBUHKAN PROBLEM SEKOLAH dan GENERASI MASA DEPAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebuah Urgensi: Program Literasi Menjadi Prioritas Utama di Sekolah

13 Oktober 2016   09:08 Diperbarui: 13 Oktober 2016   09:19 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Marjohan, M.Pd

(SMA Negeri 3 Batusangkar)

Kata “literasi atau literacy” termasuk kosata low -frequency- yang jarang disebut paling kurang dalam kehidupan saya (sekarang sudah menjadihigh frequency- sering disebut). Saat masih muda dan menutut ilmu di IKIP Padang (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) yang sekarang berubah nama menjadi UNP (Universitas Negeri Padang) saya dan mungkin juga sebahagian orang- kurang mengenal kata literasi. Sehingga jadilah kebanyakan  mahasiswa yang di kaos-kosan menghabiskan waktu dengan kurang efektif. Mereka datang jauh- jauh dari kampung hanya sekedar belajar sebagaimana cara mereka belajar di bangku SLTA dulu.

Hingga mencapai usia yang lebih dari separoh baya ini, saya masih belum mengenal istilah kata “literacy”. Dua tahun yang lalu- saya mendapat kesempatan ikut dalam program benchmarking program, dan saya menemui sebuah ruang di “Norwood Secondary College”- sejenis SMA di daerah Norwood- Melbourne, dengan tulisan “Literacy Room”.

Saya ajukan pertanyaan pada Prof. Dr. Ismet Fanany- pria Asal Batusangkar yang menjadi dekan pada Universitas Deakin. Ia menjelaskan bahwa “Literacy Room” adalah ruangan yang berguna buat membantu para siswa yang bermasalah dengan literasi- seperti membaca dan menulis.

Saya berpikir bahwa literasi sudah menjadi program penting di sekolah. Literasi menjadi prioritas utama mereka. Omong kosong seorang siswa akan menjadi pelajar yang mandiri dalam belajar kalau ia masih melek dengan literasi.

Dalam makna yang kita pahami bahwa “illiterate” yang berarti “buta huruf atau kurang mengenal literasi”. Sebahagian orangtua yang anak mereka sekolah di bangku SD menjadi puas kalau mereka sudah mengenal abjad dari A hingga Z. Program atau capaian target dasar literasi kita sangat ringan. Baru sebatas bisa membaca huruf- membaca kalimat sederhana- dan hingga membaca paragraf dan terhenti hanya hingga membaca dogeng- dogeng kuno, setelah itu tidak ada lagi.

Beberapa bulan lalu saya ikut dalam kegiatan SEKOLAH GURU INDONESIA yang dikelola oleh yayasan Dompet Dhuafa bekerjasama dengan Koran Singgalang. Kegiatan ini dibimbing oleh teman-teman yang latar belakangnya bukan pendidikan keguruan, namun mereka sangat peduli dalam memajukan pendidikan bangsa kita.

Kegiatan dilakukan pada hari Minggu agar tidak mengganggu PBM di sekolah. Kesan saya dan juga kesan dari yang lain bahwa pada umumnya peserta para guru muda yang memenuhi kriteria selalu datang dengan antuasias, mereka sangat ikhlas menggunakan uang pribadi dari kocek sendiri buat dana transport dan buat beli makanan.

Memang tugas buat mencerdaskan bangsa dan menggenjot kualitas SDM tidak mutlak tanggung jawan para pendidik. Itu semua merupakan tanggung jawab kita semua. Maka rekan-rekan dari yayasan Dompet Dhuafa juga menujukan kepedulian. Mereka merancang program literasi dan program lain buat para guru, yaitu seperti:

Penguasaan literasi digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun