Mohon tunggu...
SITI MARIYAM
SITI MARIYAM Mohon Tunggu... Wiraswasta - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kakak, Maafkan Aku

4 Januari 2024   06:15 Diperbarui: 16 Maret 2024   14:02 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

             Aku menutup mulut yang sedang menganga karena tak menyangka melihat Kakak pulang bersama Ibu dengan keadaan yang masih tidak bisa melihat, setelah seminggu lalu melakukan operasi di rumah sakit yang berada di dekat rumah Kakek dan Nenek karena sudah mendapat donor mata dari orang lain.

            "Kak, mata Kakak?" Aku melambaikan tangan ke wajah Kakak, tepat di bagian matanya. Namun, tidak ada reaksi dari matanya. Sama sekali tak bekedip.
            "Bu, Kakak kok tetap gak bisa melihat?" Aku bertanya pada Ibu yang sedang menggandeng tangan Kakak. Tapi, Ibu tidak menjawabku. Ia malah masuk meninggalkanku dan Kakak yang masih berada di depan pintu.
             "Kakak gak apa-apa kok jika harus selamanya gak bisa melihat, asalkan Kakak bisa terus bersama kamu, Dek." Kakak berkata sambil memegang erat tongkat yang selama ini menuntunnya dalam gelap. Aku menangis mendengarnya.
            "Maafin aku, ya, Kak? Karena aku, Kakak jadi gak bisa melihat seperti ini." Aku memeluknya dan menumpahkan tangisku di dalam pelukannya.
              "Jangan menangis! Kakak gak apa-apa, kok." Kakak membalas pelukanku dengan tangan kirinya mengelus lembut rambutku yang sedang tergerai.

             Andai sikapku dulu tidak seperti itu padanya, pasti sekarang ia masih bisa melihat indahnya dunia ini. Bisa tetap belajar untuk menjadi apa yang dicita-citakannya. Tapi karena keegoisanku, kehidupannya menjadi hancur. Sekarang ia tidak bisa melanjutkan kuliahnya yang sebentar lagi akan selesai. Aku menyesal, aku menyesal karena dulu telah bersikap seperti itu padanya. Pada Kakakku, saudaraku sendiri yang sangat menyayangiku. Kalau seperti ini jadinya aku tidak bisa membuktikan ucapanku pada Cindy, teman sekaligus musuhku di sekolah bahwa aku mempunyai Kakak yang tampan dan sempurna saat di acara pesta ulang tahunnya yang akan berlangsung tiga hari lagi.

              Seminggu yang lalu, aku mendapat undangan ulang tahun dari Cindy yang berulang tahun ke 17. Cindy memberi syarat kepada para undangan dengan membawa saudara, Kakak atau Adik saat datang ke pesta ulang tahunnya nanti. Selain merayakan ulang tahunnya, Cindy juga akan merayakan kelulusan Kakak perempuannya yang sudah menyelesaikan kuliahnya, sekaligus memperkenalkan Kakaknya itu pada kami. Makanya ia meminta kami, para undangan, untuk membawa saudaranya masing-masing.
           Aku langsung menceritakan itu pada Kakak melalui telepon saatku mendapatkan undangannya ketika ia sedang berada di rumah Kakek dan Nenek untuk melakukan operasi di rumah sakit yang berada di sana. Aku pikir Kakak akan bisa melihat kembali setelah dioperasi nanti. Namun aku salah, ia tetap tidak bisa melihat meski sudah mendapat donor mata dari orang lain. Bagaimana aku bisa membuktikan ucapanku pada Cindy kalau Kakak masih dalam keadaan yang tidak bisa melihat? Padahal, aku menerima tantangan Cindy saat ia menantangku untuk mendatangkan Kakak yang sudah kuceritakan padanya saat di pesta ulang tahunnya nanti. Pasti dia akan menertawaiku saat mengetahui Kakak yang selama ini aku bangga-banggakan padanya ternyata dalam keadaan seperti itu, tidak bisa melihat.

           "Dek, kamu masih mau datang ke acara ulang tahun teman kamu sama Kakak?" Tanyanya sehari sebelum pesta ulang tahun Cindy berlangsung.
Aku hanya diam mendengarnya. Aku bimbang. Sebenarnya aku tidak malu datang ke sana dengan Kakak, tapi aku takut ia hanya menjadi bahan tontonan dan tawaan orang-orang yang ada di sana, terutama Cindy.
             "Dek, kok diam? Kamu masih mau datang ke acara ulang tahun teman kamu sama Kakak gak?" Kakak mengulangi pertanyaan yang diajukannya tadi padaku, karena aku hanya diam, tanpa menjawabnya.
           "Iya, dong. Kakak aku, kan, cuma Kakak. Masa sama Kakak yang lain?" Jawabku.
           "Yakin? Gak malu datang ke sana sama Kakak?"
           "Kenapa harus malu? Kakak, kan Kakak aku, masa aku malu sih datang sama Kakakku sendiri?"

Ketika hari ulang tahun Cindy tiba, aku merapikan penampilan Kakak. Selama ini penampilannya suka acak-acakkan. Terkadang salah memakai baju. Seharusnya bagian depan yang ada di depan, ini malah sebaliknya. Rambutnya pun tidak tersisir dengan rapi, karena ia tidak bisa merapikan dirinya sendiri.
         "Kakak ganteng!" Pujiku setelah merapikan penampilannya.
         "Yeh, percuma aja ganteng kalau Kakaknya gak bisa melihat." Jawabnya.
         "Kakak kok ngomongnya gitu sih? Aku gak suka, deh, kalau Kakak jadi gak semangat gini. Udah, ah, ayo kita berangkat."
Aku langsung menggandeng tangannya, menuntun ke Ibu untuk berpamitan.


         "Bu, aku sama Kakak berangkat dulu ya!" Pamitku padanya yang sedang menonton tv di ruang tengah.
         "Iya, hati-hati. Jagain Kakak ya!" Pesan Ibu.
         "Iya Bu, pastinya." Jawabku.
          "Ibu, kok Bintang yang menjaga aku? Seharusnya kan aku yang menjaga Bintang." Kakak angkat bicara mendengar pesan Ibu itu.
          "Gak apa-apa, Kak. Kali ini aku yang menjaga Kakak, ya?"
           "Kamu ini.."
           "Hehehe.."

Lalu, aku dan Kakak ke luar dari rumah dan berjalan sebentar menuju jalan raya menunggu taksi online yang datang untuk bisa mengantar kami sampai ke rumah Cindy. Sekitar lima menit menunggu, akhirnya taksi pun datang. Aku dan Kakak masuk ke dalam, lalu taksi itu melaju dengan sedang.
           Di perjalanan, aku tidak bicara sama sekali dengan Kakak. Hatiku tak tenang, membayangkan bagaimana nanti setelah tiba di pesta ulang tahunnya Cindy. Tapi, aku mencoba untuk berpikir yang baik-baik hingga tak terasa kami sudah tiba di depan rumah Cindy.

            Para undangan menoleh ke arahku dan Kakak ketika kami baru berjalan tiga langkah memasuki halaman rumah Cindy. Cindy belum melihat kedatangan kami, ia masih sibuk menyambut tamu-tamunya yang baru saja datang sebelum aku. Setelah selesai, ia melihat-lihat sekeliling sampai akhirnya matanya terbelalak ketika melihatku dan Kakak.
         "Jadi ini Kakak kamu? Kakak yang kamu bilang sempurna, Kakak yang kamu bangga-banggakan, dan Kakak yang..."
Sebelum ia melanjutkan ucapannya yang bermaksud untuk mencemooh Kakak, aku langsung memotongnya.
           "Cukup Cindy, cukup! Aku udah memenuhi persyaratan kamu dengan mengajak Kakakku untuk datang ke ulang tahun kamu, karena aku masih menghargai kamu sebagai temanku. Tapi kenapa kamu malah seperti ini?" Aku berkata dengan nada tinggi tanpa mempedulikan yang lain sedang memperhatikan kami, juga pada Kakak yang ada di sampingku.
           "Selamat ulang tahun ya! Sampaikan selamat buat Kakak kamu juga yang udah lulus dari kuliahnya. Ini kado buat kamu, kami pamit!" Cepat-cepat aku berkata sambil memberikan kado yang sedang kupegang padanya, sebelum ia lebih mencemooh Kakak lagi.

           Kemudian, aku langsung membawa Kakak pergi meninggalkan rumah sekaligus pesta ulang tahunnya Cindy dengan terburu-buru. Kakak masih dalam kediamannya tanpa berkomentar sama sekali seperti saatku dan Cindy saling berbicara tadi. Aku terus menggandeng tangan Kakak dengan hati yang kesal ketika sedang berjalan di jalan yang masih di daerah rumahnya Cindy. Ketika melihat ada bangku yang terdapat seperti di sebuah taman, aku mengajak Kakak untuk beristirahat sejenak.

 "Maafkan sikap Cindy tadi, ya, Kak?" Amarahku sedikit reda ketika sudah menjatuhkan pantat di bangku itu.
            "Gak apa-ap, kok, Dek. Coba kalau keadaan Kakak gak seperti ini, teman kamu pasti gak akan seperti itu." Kakak selalu mengatakan itu setiap kali yang lain berlaku seperti Cindy tadi. Aku hanya diam mendengarnya sambil melihat Kakak yang pandangannya terus ke depan tanpa beralih kemana pun.
Saat tahu ada yang menjual minuman di sekitar tempat kami ini, aku berniat membeli minum untukku dan Kakak. Marah-marah ternyata buat haus juga, ya?
            "Kak, aku mau beli minum dulu. Kakak tunggu disini ya!" Kataku sambil beranjak pergi menuju penjual minuman yang sedang mangkal di sana. Kakak hanya mengangguk tersenyum menjawabnya.

Aku pun kembali kepada Kakak setelah membawa dua botol minuman yang rasanya sudah tidak asing lagi untuk lidah kami berdua. Kami langsung meminumnya sambil mengobrol-ngobrol yang membuat kami lupa waktu.
          "Udah malam, Kak, pulang yuk!" Ajakku saat tahu waktu sudah menunjukkan pukul 11.
Ketika aku hendak menggandeng tangan Kakak dengan maksud menuntunnya berjalan seperti biasanya, ia menolak.
           "Jangan dituntun, ya, Kakaknya. Kakak bisa jalan sendiri, kok."
           "Nanti kalau Kakak kesandung batu terus jatuh gimana? Aku gak mau Kakak kenapa-kenapa." Aku menolak keinginannya itu. Jelas saja, bagaimana ia bisa berjalan dengan baik tanpa terjatuh kalau ia saja tidak bisa melihat yang ada di sekelilingnya?


          "Lihat Kakak!" Kakak berkata sambil menggerak-gerakkan secara pelan kedua kakinya saatku sedang membenarkan tali sepatunya yang terlepas. Padahal aku sudah mengikat dengan kencang tali di sepatunya tadi, kok bisa terlepas ya?
          "Lihat kenapa, Kak?" Tanyaku yang masih mengikat tali sepatunya.
          "Lihat Kakak, Dek! lihat Kakak!" Kakak terus menyuruhku untuk melihatnya, kini sambil mengusap lembut kepalaku. Setelah selesai mengikat tali sepatunya, aku langsung bangkit dan melihatnya seperti yang ia perintahkan tadi.


          "Kakak?" Aku membelalakkan mata sembari menganga saat melihat pandangan matanya yang biasanya hanya lurus ke depan kini memandangku.
          "Jangan nganga gitu, Dek, jelek tahu." Kakak berkata sambil menutup mulutku yang sedang menganga dengan tangannya. Aku membuang tangannya dari mulutku lalu menarik wajahnya dengan kedua tanganku mendekat ke wajahku.
          "Kakak bisa melihat?" Tanyaku. Ia mengangguk sambil tersenyum sebagai jawabannya.
          Karena masih tidak percaya, aku melambaikan tangan ke wajahnya untuk memastikan bahwa ia sudah bisa melihat. Matanya berkedip. Ternyata benar, ia bisa melihat. Kedua bola matanya tertuju tepat pada kedua bola mataku saat kami bertatapan.
          "Yeeeyyy, Kakak bisa melihat lagi!" aku berteriak kesenangan dan tanpa sadar orang-orang yang tengah berlalu di jalan melihat ke arah kami karena mendengar teriakkanku. Melihat itu, Kakak langsung menaruh jari telunjuk tangannya ke bibir, mengisyaratkan padaku untuk tidak berisik, karena mereka sedang melihat kami.
          "Maaf ya, Kakak cuma pura-pura aja buat ngetes kamu. Dan hasilnya kamu lulus tesnya, karena ternyata kamu udah merubah sikap buruk kamu yang dulu. Hahaha." Kakak tertawa terbahak-bahak.
          "Ah... Kakak jail!" Aku menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi. Sementara ia masih tetap tertawa terbahak-bahak.
           "Jadi, operasi Kakak waktu itu berhasil?" Tanyaku. Ia mengangguk menjawabnya.
           "Berarti, Ibu udah tahu dong masalah ini?"
           "Iya, malah Kakak sama Ibu sepakat untuk mengetes kamu dengan cara Kakak tetap berpura-pura gak bisa melihat."
          "Ah.. kalian jail udah ngebohongin aku."
           "Hahaha, kasian adik aku dibohongin."
Aku kembali menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi, sementara ia hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Aku benar-benar tak sadar kalau Kakak hanya berpura-pura. Ia sangat terlihat seperti dulu, yang masih tidak bisa melihat.

            "Aku janji akan merubah sikap burukku ke Kakak, aku akan patuh sama Kakak, aku akan sayang sama Kakak. Pokoknya, aku akan menjadi adik yang baik buat Kakak." Aku berkata sambil menggenggam tangan Kakak, sementara ia dengan serius memperhatikanku yang sedang berbicara.
          "Maaf ya Kak, dulu aku sempat membenci Kakak atas kepergiannya Ayah. Padahal, itu semua bukan kesalahan Kakak. Ayah pergi bukan karena Kakak, tapi karena takdir. Maafin aku Kak, maafin aku udah jahat sama Kakak." Tak lupa aku kembali meminta maaf atas apa yang sudah kuperbuat dulu padanya.
          "Gak apa-apa, Dek, Kakak ngerti kok. Kamu pasti gak rela, kan, Ayah pergi? Tapi kamu gak nyangka, kan, punya Kakak yang ganteng?" Kakak tersenyum nakal.
Mendengar itu, lagi dan lagi aku menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi. Kami pun tertawa lepas. Lalu, kami pun pulang ke rumah ketika malam semakin larut.

Keesokkan harinya, aku berangkat sekolah dengan diantar oleh Kakak untuk yang pertama kalinya. Padahal, dulu ia selalu menawariku untuk diantar olehnya. Tapi, aku selalu menolaknya, karena aku masih membencinya. Kini, rasa benci itu sudah hilang dari dalam hatiku. Dan kini juga, rasa sayanglah yang semakin hari semakin bertambah padanya.
          "Tumben banget udah sampe di sekolah pagi-pagi, biasanya lima menit sebelum masuk?" Kata Cindy ketika aku baru tiba dikelas pada jam 6.30.
          "Aku diantar Kakakku!" Jawabku singkat.
Benar yang dikatakan oleh Cindy, biasanya aku selalu datang lima menit sebelum masuk karena harus menunggu angkutan umum yang datang. Tapi sekarang sudah tidak lagi, karena ada Kakak yang mengantarku.
         "Diantar Kakak kamu? Hahahah.. Ngarang kamu! Bukannya Kakak kamu gak bisa melihat? Gimana dia bisa mengantar kamu?" Cindy tak percaya dengan jawabanku tadi.
         "Kamu gak percaya aku diantar Kakak?" Tanyaku.
         "Nggaklah, gimana Kakak kamu bisa mengantar kamu kalau dia aja gak bisa melihat?" Jawabnya.
         "Jadi benar gak percaya nih?"
         "Nggak, kecuali aku bisa melihat sendiri saat Kakak kamu mengantar kamu."
          "Oh, begitu, ya. Jadi kamu perlu bukti? Aku akan buktikan ke kamu kalau omonganku ini gak bohong. Pulang sekolah nanti Kakak jemput aku."
         "Okey, kita buktikan!"

Ketika pulang sekolah tiba, aku langsung mengajaknya menemui Kakak untuk membuktikan padanya bahwa ucapanku ini benar. Syukurlah, Kakak sudah datang dan ia sedang menungguku di tempat tunggu yang seperti biasanya. Aku mengetuk kaca mobil yang di dalamnya ada dirinya, Kakak pun langsung membukanya.
            "Hai, Dek!" Sapa Kakak saat kacanya terbuka dan melihat Cindy di luarnya.
            "Kakak kok bisa melihat?" Kata Cindy yang keheranan.
            "Iya, Kakak bisa melihat." Kakak menjawab sambil tersenyum padanya.
            "Kakak pasti bohong, kan?" Cindy masih tidak percaya bahwa Kakak memang benar bisa melihat.
            "Kakak gak bohong kok, Dek. Kakak benar bisa melihat. Kakak bisa lihat nama yang tertera di dada kamu, Cindy Feryanti, itu kan nama kamu? Rambut kamu hitam dan panjangnya sebahu. Betul, kan?" Kakak mengatakan semua pada Cindy yang terdapat pada dirinya untuk membuktikan padanya bahwa ia memang benar bisa melihat.
           "Kakak kok bisa melihat secepat ini? Bukannya semalam...?"
           "Semalam, Kakak hanya berpura-pura gak bisa melihat aja. Gimana? Akting kakak bagus, kan?"
           Mendengar itu, Cindy pergi meninggalkanku dan Kakak begitu saja karena tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kami tertawa melihat tingkahnya itu. Lalu, aku pun masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku sebelah di samping Kakak. Kali ini aku bisa membuktikan ucapanku padanya, tidak seperti semalam.

"Teman kamu lucu ya!" Komentar Kakak tentang Cindy. Aku hanya tertawa mendengarnya. Kakak juga ikut tertawa, dan kami berdua pun tertawa lepas.
Kemudian, Kakak menjalankan dengan sedang mobil yang sedang kami naiki menuju pulang ke rumah.

***

Note:
Cerita ini pernah terbit di website:
https://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/kakak-maafkan-aku-part-2-ternyata-kakak.html
Ada perubahan judul dan penambahan kata yang bertujuan agar cerita menjadi lebih sempurna dan fresh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun