Ketika Presiden Prabowo memberi lampu hijau bagi warga negara asing memimpin BUMN, publik terbelah antara harapan dan kegelisahan. Harapan akan datangnya profesionalisme global, namun juga kegelisahan bahwa anak negeri dianggap tak mampu mengurus rumah sendiri. Padahal, persoalan BUMN bukan soal siapa yang memimpin, melainkan sistem yang menolak untuk benar-benar dibenahi.
Dalam pemberitaan Kompas (17/10/2025), Presiden Prabowo menyebut bahwa WNA dapat memimpin BUMN selama memenuhi syarat dan dinilai mampu meningkatkan kinerja. Tujuannya jelas: BUMN harus menjadi penyumbang bagi negara, bukan beban anggaran. Pernyataan ini lahir dari fakta bahwa banyak BUMN masih merugi, meski sudah menerima penyertaan modal negara (PMN) triliunan rupiah setiap tahun.
Data terbaru menunjukkan, BUMN memang masih jauh dari ideal. Pada 2024, total dividen yang disetor ke negara mencapai Rp85,5 triliun, naik dari Rp81,2 triliun pada 2023. Namun, 97 persen dari dividen itu disumbang hanya oleh delapan perusahaan besar, seperti Pertamina, Telkom, dan Mandiri. Dari lebih dari 1.000 BUMN yang tercatat, sekitar 52 persen masih merugi, dengan total kerugian sekitar Rp50 triliun per tahun. Ironisnya, sekitar 40 persen penerima PMN justru termasuk dalam daftar perusahaan merugi.
Lalu, apakah mengganti direktur dengan WNA akan menyembuhkan penyakit kronis ini? Ataukah kita sekadar mengganti dokter, sementara pasiennya tetap menolak berubah gaya hidup?
Masalah utama BUMN bukanlah soal paspor pimpinan, melainkan kultur birokrasi dan intervensi politik yang terlalu dalam. Kursi direksi sering kali menjadi hasil kompromi politik, bukan hasil seleksi profesional. Audit internal berhenti di meja pejabat, bukan di meja publik. Akuntabilitas menjadi jargon, bukan sistem.
Padahal, reformasi sudah sering dicoba: pembentukan holding, restrukturisasi, dan program efisiensi. Namun langkah-langkah itu kerap berhenti di tataran kosmetik. Akar masalahnya belum tersentuh: tata kelola yang belum transparan, budaya kerja yang tidak disiplin, serta batas kabur antara misi sosial dan bisnis.
Presiden Prabowo tentu ingin menghadirkan gebrakan. Namun gebrakan itu tidak cukup hanya dengan membuka peluang bagi pemimpin asing. Yang lebih penting adalah membangun sistem yang memungkinkan siapa pun --- WNI atau WNA --- bekerja dalam ekosistem yang sehat, profesional, dan bebas intervensi politik. Kepemimpinan yang baik tidak ditentukan oleh kebangsaan, melainkan oleh integritas dan etos kerja.
Seperti kata Lao Tzu, "Mengubah arah angin mungkin mustahil, tapi kita bisa menyesuaikan layar." Dalam konteks BUMN, layar itu adalah sistem dan budaya kerja. Tanpa layar yang kuat, siapa pun nakhodanya akan terombang-ambing di lautan birokrasi dan kepentingan.
BUMN seharusnya menempati posisi tengah: antara misi sosial dan logika bisnis. Ia bukan lembaga amal, tapi juga bukan perusahaan swasta yang mengejar laba semata. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan tegas: depolitisasi jabatan direksi, audit publik terbuka, dan insentif berbasis kinerja.
Prabowo tidak cukup berhenti pada ide memberi ruang bagi WNA. Ia harus memastikan BUMN memiliki arah yang jelas dan bebas dari kepentingan politik. Tanpa reformasi struktural, kepemimpinan siapa pun --- entah WNI atau WNA --- hanya akan menjadi kosmetik di wajah lembaga yang sakit.
Bung Hatta pernah berkata, "Indonesia tidak akan besar karena obor di istana, tetapi karena lilin-lilin kecil di rumah rakyat." BUMN pun demikian. Ia tidak akan besar karena paspor direktur, tetapi karena sistem yang menyalakan semangat kerja, integritas, dan akuntabilitas bagi semua.