"Pendidikan bukan sekadar menajamkan otak, tapi juga melembutkan hati," kata Ki Hajar Dewantara. Sayangnya, di negeri yang mengaku menjunjung tinggi ajaran sang Bapak Pendidikan itu, lembutnya hati justru sering terhenti di ruang kelas---atau lebih tepatnya, di telapak tangan sang guru.
Baru-baru ini publik kembali diguncang oleh kabar dari SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten. Seorang kepala sekolah menampar siswanya karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Menurut laporan detik.com (14 Oktober 2025), insiden itu terjadi saat kegiatan "Jumat Bersih". Siswa yang ketahuan merokok ditegur keras oleh kepala sekolah bernama Dini Fitri dan sempat menerima tamparan di pipi serta tendangan ringan di kaki. Kepala sekolah berdalih bahwa tindakan itu spontan dan "tidak keras". Namun, bagi sang siswa, itu tetaplah kekerasan.
Kejadian ini kemudian dilaporkan oleh orang tua siswa ke Polres Lebak. Tak lama, muncul gelombang reaksi di sekolah: ratusan siswa mogok belajar selama dua hari. Mereka menolak masuk kelas sebagai bentuk protes terhadap kepala sekolah, menuntut agar sang kepala sekolah mundur atau ditindak secara tegas. Bukan, seperti sempat disangka sebagian publik, untuk membela kepala sekolah---melainkan untuk membela teman mereka yang ditampar.
Menurut laporan Detik.com dan Liputan6.com, sebanyak 630 siswa dari 19 ruang kelas di SMAN 1 Cimarga melakukan aksi mogok pada 14--15 Oktober 2025. Mereka menganggap tindakan kepala sekolah sudah melampaui batas. Pemerintah Provinsi Banten akhirnya menonaktifkan sementara kepala sekolah untuk meredam situasi. Belakangan, muncul kabar bahwa jabatan kepala sekolah dipulihkan setelah situasi kembali kondusif, meski proses hukumnya masih berjalan.
Isu lain yang beredar menyebut bahwa aksi siswa ini "tidak murni", melainkan dipengaruhi pihak luar. Namun, tudingan itu belum terbukti. Yang jelas, peristiwa ini membuka kembali perdebatan lama: apakah hukuman fisik masih relevan dalam dunia pendidikan modern?
Lingkaran Kekerasan yang Tak Pernah Putus
Kasus di Cimarga bukanlah yang pertama. Pada 2023, seorang guru SD di Lombok Timur dilaporkan karena memukul muridnya dengan penggaris hingga memar. Di Makassar, seorang guru SMP menampar siswanya karena tidak mengerjakan PR. Tahun lalu di Padang, seorang wali kelas menarik telinga murid sampai luka karena bercanda di kelas.
Semua kisah itu berakhir dengan pola yang sama: masyarakat terbelah, guru mengaku mendidik, murid terluka, dan publik lupa.
Padahal, menurut psikolog pendidikan Anisa Haryati, kekerasan fisik justru "tidak pernah membentuk karakter, hanya membentuk ketakutan." Anak yang tumbuh dalam ketakutan cenderung mengembangkan dua respon: tunduk atau melawan. Lebih parah lagi, mereka berpotensi menjadi pelaku kekerasan berikutnya---baik di lingkungan sekolah maupun rumah.
Inilah yang disebut para ahli sebagai the cycle of violence---rantai kekerasan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mengajar dengan Tangan, Bukan Menampar dengan Tangan