Penelitian menunjukkan program bantuan sosial---yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesejahteraan---dapat meningkatkan intensitas konsumsi rokok di kalangan penerima, sementara rumah tangga perokok cenderung mengalihkan sebagian anggaran penting untuk membeli rokok.Â
Artinya, tanpa kebijakan terpadu, bansos bisa berakhir menutup keran kebutuhan dasar.
Pajak Rokok sebagai Instrumen Pembangunan
Dari sisi penerimaan negara, industri rokok juga menyumbang pajak dan cukai besar---ratusan triliun rupiah---yang sejatinya bisa diarahkan kembali untuk program kesehatan, transisi pekerja, dan penegakan aturan agar anak-anak tak menjadi perokok baru.Â
Jadi, klaim bahwa menaikkan cukai hanya merusak tanpa manfaat fiskal adalah separuh cerita. Yang tersisa adalah: bagaimana memastikan penerimaan itu benar-benar dipakai untuk mitigasi dan pembangunan.
Belajar dari Negara Lain
Pengalaman negara lain memberi pelajaran berharga. Australia, misalnya, secara konsisten menaikkan cukai rokok sejak 2010. Hasilnya, prevalensi perokok turun drastis: dari sekitar 15% pada 2011 menjadi hanya 8,3% pada 2022 --- salah satu terendah di dunia. Dana cukai dipakai untuk kampanye kesehatan dan layanan medis.
Di Asia Tenggara, Filipina berhasil mendongkrak penerimaan negara lewat "Sin Tax Reform" 2012. Penerimaan cukai rokok naik lebih dari dua kali lipat, sebagian dialihkan untuk program kesehatan universal. Thailand pun menerapkan pajak tinggi serta regulasi ketat iklan rokok, hasilnya konsumsi menurun signifikan tanpa menghancurkan industri.
Artinya, pilihan bukan sekadar "naikkan cukai, pekerja mati" atau "biarkan cukai stagnan, pekerja selamat". Negara-negara ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal bisa diarahkan untuk menyehatkan masyarakat sekaligus menciptakan sumber daya untuk pembangunan.
Hitam Putih yang Tak Menyelesaikan Masalah
Akhirnya, Purbaya perlu diingatkan: menjadi menteri keuangan bukan hanya soal melindungi industri hari ini, melainkan menimbang keseluruhan biaya jangka panjang negara dan rakyat. Seperti kata John Stuart Mill, "Over himself, over his own body and mind, the individual is sovereign." Tapi kebebasan individu berhenti ketika pilihan itu menimbulkan beban sosial yang besar pada orang lain --- dan ketika generasi muda berisiko menjadi korban penafsiran kebijakan hitam-putih.