Namun di sisi lain, ini juga menyimpan risiko: Jokowi bisa dituding menutup ruang regenerasi politik. Seolah-olah bangsa ini hanya berputar pada lingkaran yang sama, tanpa memberi kesempatan lahirnya alternatif baru.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arya Fernandes, menilai bahwa strategi Jokowi "sangat rasional dalam logika kekuasaan, tapi berpotensi mempersempit ruang demokrasi jika tidak diimbangi dengan regenerasi politik yang sehat."Â
Sementara peneliti senior LIPI (kini BRIN), Siti Zuhro, menyebut bahwa Jokowi "sedang mengamankan legacy, sekaligus menjaga agar basis relawan tidak diambil alih oleh kekuatan lain." Analisis ini memperlihatkan bahwa langkah Jokowi bukan hanya soal loyalitas, tetapi juga soal kalkulasi politik jangka panjang.
Menyapa atau Menggertak?
Lalu apa arti sebenarnya dari pernyataan Jokowi itu? Apakah ia sedang menyapa relawan, sekadar mengingatkan agar solid? Atau ia sedang menggertak lawan politik, menunjukkan bahwa meski sudah lengser, ia masih punya barisan?
Mungkin jawabannya: keduanya. Jokowi sedang menyapa sekaligus menggertak.
Kata filsuf Italia Niccol Machiavelli: "Lebih aman bagi seorang pemimpin untuk ditakuti daripada dicintai, jika ia tak bisa mendapatkan keduanya." Jokowi tampaknya memilih jalan lain: ia ingin tetap dicintai relawannya, sekaligus ditakuti lawan-lawan politiknya.
Yang jelas, satu kalimat Jokowi kembali membuktikan bahwa ia tetap menjadi variabel paling berpengaruh dalam politik Indonesia. Bahkan setelah tak lagi duduk di kursi presiden, ia masih mampu mengguncang panggung.
Dan begitulah Jokowi: selalu menjadi berita, selalu jadi magnet, selalu punya cara membuat semua orang berbicara tentang dirinya.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI