Dalam sejarah politik Indonesia, istilah buku putih biasanya identik dengan dokumen resmi. Sebuah laporan otoritatif, rapi, dan sahih dari lembaga berwenang yang berfungsi sebagai penjelasan negara atas sebuah peristiwa besar.Â
Contohnya, White Paper yang dikeluarkan pemerintah di banyak negara sebagai dokumen resmi untuk menjawab keraguan publik.
Namun, tiba-tiba publik dikejutkan dengan peluncuran sebuah "Buku Putih" oleh Roy Suryo cs---sebuah kelompok yang kini sedang berhadapan dengan hukum.Â
Isinya? Tuduhan lama, basi, dan berulang tentang ijazah Presiden Joko Widodo. Pertanyaannya: benarkah ini buku putih? Atau sekadar catatan pinggir yang dicetak tebal, diberi cover, lalu dipoles dengan istilah yang terdengar gagah?
Antara Buku Putih dan Buku Abu-Abu
Buku putih sejatinya adalah dokumen yang menyajikan kebenaran berdasarkan fakta dan otoritas resmi. Tetapi dalam kasus ini, kita menghadapi sebuah paradoks: yang disebut "Buku Putih" justru ditulis oleh orang-orang yang tidak memiliki otoritas, tidak punya kapasitas akademik formal untuk menguji keaslian ijazah, dan ironisnya, sedang menjadi tersangka kasus serupa.
Sebaliknya, pihak yang justru berwenang---Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai almamater resmi Presiden Jokowi---sudah berkali-kali menegaskan bahwa Jokowi memang alumnus UGM dan ijazahnya asli. Pernyataan serupa juga datang dari Bareskrim Polri. Jika dua institusi paling sahih ini sudah berbicara, apa lagi yang perlu diperdebatkan?
Mengutip pepatah Latin "Veritas vos liberabit"---kebenaran akan membebaskanmu. Sayangnya, dalam kasus Roy Suryo cs, yang tampak adalah kebebasan bermain kata, bukan kebebasan oleh kebenaran.
Permainan Retorika: Dari Putih Jadi Kelabu
Ada satu hal yang mencolok dari publikasi ini: permainan istilah. Dengan menyebutnya buku putih, Roy Suryo cs seolah ingin mengesankan bahwa apa yang mereka tulis adalah "kebenaran murni". Padahal, jika diperiksa secara objektif, ini lebih cocok disebut buku abu-abu: penuh asumsi, minim legitimasi.
Lucunya, mereka justru berhadapan dengan risiko hukum yang lebih besar. Pasalnya, ketika tuduhan yang sama ditulis dalam bentuk buku, lengkap dengan klaim sebagai "buku putih", maka ini bisa dianggap sebagai penyebaran fitnah yang sistematis dan terencana. Artinya, bukannya meringankan posisi mereka, justru bisa memperberat tuduhan.