Kelemahan TKA: Diagnosis Tanpa Terapi
Ada beberapa masalah mendasar dari TKA yang patut dikritisi:
1. Reduksi Kecerdasan Menjadi Angka
TKA hanya mengukur aspek kognitif. Padahal, seperti dikatakan Howard Gardner dalam teorinya tentang Multiple Intelligences, kecerdasan manusia beragam bentuknya: logis, linguistik, interpersonal, kinestetik, musikal, dan lain-lain. Mengabaikan aspek non-akademik berarti menyempitkan makna belajar.
2. Tidak Ada Jaminan Pemerataan Akses
Meskipun TKA berbasis komputer, nyatanya belum semua sekolah di pelosok Indonesia memiliki infrastruktur memadai. Kesenjangan digital masih menjadi masalah serius.
3. Stres dan Tekanan Psikologis Kembali Menghantui
TKA memang tidak menentukan kelulusan, tapi jika hasilnya digunakan untuk seleksi pendidikan tinggi, tekanan mental siswa tetap tinggi. "Meskipun namanya bukan 'ujian kelulusan', pada praktiknya tetap jadi penentu masa depan," ujar Prof. Arief Rachman, pakar pendidikan dari UI.
4. Minim Pelibatan Guru dan Sekolah
Sama seperti UN, TKA tetap dirancang top-down oleh pemerintah pusat. Sekolah dan guru hanya jadi pelaksana, bukan pengarah. Ini membuat pendidikan terasa lebih administratif ketimbang pedagogis.
---
Murid Sebagai Subjek, Bukan Objek Kebijakan
Pendidikan seharusnya melibatkan seluruh elemen: murid, guru, orang tua, masyarakat. Namun sayangnya, dalam banyak kebijakan pendidikan kita, murid justru ditempatkan paling bawah dalam piramida kepentingan.
Siswa adalah manusia dengan aspirasi, bukan data statistik. Mereka bukan boneka dalam laboratorium eksperimen. Kebijakan pendidikan yang sehat adalah yang melibatkan mereka dalam proses, tidak semata menimpakan hasil.
---
Lalu Bagaimana Seharusnya?