Sebaliknya, pernyataan Rocky justru berpotensi menjadi apa yang oleh Jean Baudrillard sebut sebagai "simulakra" --- tanda-tanda yang meniru realitas tapi kehilangan makna aslinya. Kalimat itu tampak filosofis, tetapi sebenarnya bisa berujung pada kabut logika yang menyesatkan publik.
---
Mengaburkan, Bukan Mencerahkan
Masalah utama dari pernyataan seperti ini adalah efeknya terhadap ruang publik. Ketika perdebatan tentang ijazah Jokowi sudah diselesaikan oleh fakta-fakta hukum, memperpanjangnya dengan retorika absurd justru mengalihkan perhatian dari isu-isu substansial: kemiskinan, pendidikan, ketimpangan sosial, korupsi struktural, dan lainnya.
Dalam demokrasi yang sehat, publik harus diajak berpikir kritis, bukan hanya berpikir sinis. Kritik yang baik tidak berhenti pada sindiran kosong, tetapi menawarkan arah, solusi, atau setidaknya membuka ruang dialog berbasis data dan etika. Seperti kata filsuf Prancis, Michel Foucault, "Kritik adalah seni menolak menjadi diperintah dengan cara tertentu dan oleh orang tertentu." Tapi kritik juga butuh tanggung jawab, bukan sekadar provokasi.
---
Kekeliruan Logika: Ketika Diksi Menggantikan Bukti
Secara epistemologis, pernyataan Rocky mengandung beberapa kesalahan nalar:
1. Ambiguitas Konsep
Ia menggunakan istilah "palsu" tanpa menjelaskan dalam konteks apa: palsu secara moral? Politik? Identitas? Tanpa klarifikasi, kata "palsu" hanya jadi bom asap.
2. Kesalahan Reduksi
Dengan menyederhanakan kritik terhadap kebijakan Jokowi menjadi kritik terhadap "keaslian dirinya", Rocky mengabaikan kompleksitas politik dan peran institusi.
3. Personalisasi Isu Publik
Ia mempersonalisasi isu struktural --- seperti kegagalan kebijakan --- menjadi tuduhan identitas. Ini justru melemahkan daya kritis publik karena menjauh dari substansi.
---