"Supremasi sipil adalah fondasi demokrasi. Ketika sipil mulai memanggil militer untuk menyelesaikan tugas-tugas di luar pertahanan, itu bukan lagi tanda kekuatan, tapi kebingungan."-- Alissa Wahid, aktivis dan tokoh masyarakat sipil.
---
Baru-baru ini, Dedi Mulyadi, gubernur Jawa Barat, Â membuat pernyataan yang mengundang keprihatinan sekaligus perdebatan. Ia melaksanakan kebijakan anak-anak nakal dan bermasalah dididik oleh tentara yang bahkan dikembangkan menjadi bagi kalangan guru, PNS dan masyarakat yang bermasalah. Tak lama berselang, Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyatakan perlunya perlindungan tentara untuk seluruh kantor kejaksaan di Indonesia.
Ini bukan kasus tunggal. Dalam beberapa tahun terakhir, tentara juga telah digandeng untuk berbagai tugas sipil: dari program ketahanan pangan nasional, penanganan stunting, pengamanan kawasan hutan, hingga keterlibatan dalam Satgas Covid-19. Seakan, setiap persoalan pelik bangsa butuh solusi dengan pendekatan militeristik.
Apakah ini sinyal bahwa masyarakat sipil sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri? Ataukah ini bentuk nostalgia atas "efisiensi" era lama, ketika militer mengendalikan banyak sektor kehidupan?
---
Kepercayaan Tinggi pada Tentara: Pisau Bermata Dua
Dalam sejumlah survei nasional, kepercayaan publik terhadap institusi TNI memang selalu menempati posisi teratas. Survei Indikator Politik Indonesia (Agustus 2023) mencatat bahwa TNI memperoleh tingkat kepercayaan publik sebesar 85,9%, lebih tinggi dibandingkan lembaga lain seperti Polri (64,8%) atau DPR (53,1%).
Namun, tingginya kepercayaan bukanlah justifikasi untuk menyerahkan semua urusan ke tangan militer.
"Tugas TNI itu menjaga kedaulatan dan keamanan negara dari ancaman eksternal, bukan menyelesaikan problem sipil," ujar Zaky Yamani, peneliti militer dari Imparsial, saat dihubungi Kompas.
Memang benar, militer memiliki keunggulan dalam hal disiplin, ketegasan, dan struktur komando. Namun pendekatan militer dalam persoalan sipil kerap gagal menyentuh akar masalah. Anak-anak nakal dan warga dengan masalah sosial, misalnya, lebih membutuhkan pendekatan humanis, edukatif, dan berkelanjutan---bukan pelatihan fisik atau kekerasan simbolik.
---
Lupa Akan Luka: Dwifungsi TNI dan Pelajaran Reformasi
Salah satu capaian besar Reformasi 1998 adalah dihapusnya dwifungsi ABRI---konsep yang memberi militer peran ganda: menjaga keamanan dan terlibat dalam pemerintahan sipil. Sejak Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004 diberlakukan, tugas TNI telah ditegaskan hanya untuk pertahanan negara.
Namun dalam praktik, batas itu mulai kabur. Pelibatan TNI dalam program-program sipil kian jamak dan dilegalkan melalui perjanjian kerja sama (MoU) antar instansi. Bahkan dalam Program Strategis Nasional, TNI turut dilibatkan oleh kementerian terkait.
Tentu saja ini gejala mengkhawatirkan. Alih-alih memperkuat institusi sipil, kita malah kembali menyerahkan peran kepada militer. Ini kemunduran demokrasi.
---
Ketika Sipil Kehilangan Percaya Diri
Pertanyaannya, mengapa institusi sipil seperti kejaksaan atau tokoh politik justru yang meminta perlindungan atau pelibatan militer? Jawabannya bisa jadi karena krisis kapasitas, krisis integritas, atau krisis legitimasi.
Ketika hukum lemah dan aparat sipil rentan intimidasi, muncul hasrat untuk "dipagari" oleh kekuatan bersenjata. Namun solusi semacam ini hanya memperpanjang ketergantungan dan tidak menyelesaikan persoalan mendasar: reformasi kelembagaan, perbaikan sistem kerja, serta penguatan etika dan akuntabilitas.
Dalam hal ini sebagai masyarakat sipil, Â kita harus membangun kepercayaan terhadap sistem sipil yang demokratis. Kalau terus bergantung pada militer, maka cita-cita supremasi sipil akan menjadi retorika kosong.
---
Menjaga Garis Batas: Perluasan Peran atau Pelanggaran Fungsi?
Bukan berarti militer tidak boleh terlibat sama sekali. Dalam kondisi darurat atau ancaman keamanan nasional, kehadiran militer bisa jadi penting. Tapi jika pelibatan itu menjadi pola tetap, tanpa pengawasan, maka kita sedang membuka pintu ke belakang bagi kebangkitan peran politik militer.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dalam beberapa pernyataan menegaskan bahwa TNI siap membantu jika diminta, namun tetap dalam koridor hukum. Namun siapa yang menjamin bahwa batas itu tidak akan terus meluas?
Kalau semua lembaga sipil minta perlindungan tentara, lantas di mana letak otonomi sipil dan prinsip checks and balances?.
---
Kembali ke Supremasi Sipil
Reformasi bukan hanya soal mengganti rezim, tapi merombak cara pandang. Supremasi sipil bukan berarti sipil harus anti-militer, tapi bahwa negara sipil yang sehat tidak boleh menyerahkan tanggung jawab sipil kepada kekuatan bersenjata.
Kita butuh kejaksaan yang kuat, polisi yang tegas namun manusiawi, guru yang mendidik dengan kasih, dan pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Bukan militer yang diminta mengisi semua peran ketika sipil gagal.
---
Akhir Kata
Jangan salah tafsir. Kepercayaan publik kepada tentara adalah aset penting bangsa. Tapi seperti kata pepatah, "jika satu-satunya alat yang kita miliki adalah palu, maka semua masalah akan tampak seperti paku." Ketika kita memanggil tentara untuk menyelesaikan masalah sosial, hukum, pendidikan, dan lingkungan, kita sedang memperlakukan semua masalah sebagai ancaman perang.
Saatnya bangsa ini kembali memperkuat lembaga sipilnya. Bukan dengan meminta bantuan barak, tetapi dengan membenahi rumah tangga sendiri.
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI