Prosesnya sendiri berlangsung cepat. Hanya empat putaran pemungutan suara dibutuhkan sebelum akhirnya nama Robert Prevost mengungguli calon-calon lain. Tidak ada drama ala Hollywood. Tapi justru karena itulah, proses ini terasa jauh lebih agung.
---
Film Bukan Fakta, Tapi Tetap Layak Ditonton
Apakah Conclave mencerminkan kenyataan? Tidak. Tapi apakah ia memberi gambaran yang menggugah imajinasi tentang kompleksitas emosi dan tanggung jawab dalam memilih pemimpin tertinggi umat Katolik? Sangat.
Conclave bukan serangan terhadap Gereja, bukan pula sebuah doktrin. Ia adalah cerita. Sebuah interpretasi dramatis yang, jika ditonton dengan mata terbuka dan pikiran kritis, bisa menjadi pintu masuk untuk memahami---setidaknya membayangkan---bagaimana beratnya beban di pundak seorang Paus.
---
Ketika Imajinasi Bertemu Iman
Gereja Katolik mungkin tidak pernah benar-benar membuka tirai konklaf sepenuhnya. Dan mungkin memang tidak seharusnya. Ada kekhusyukan dan misteri di sana yang terlalu suci untuk dijadikan tontonan. Tapi dengan hadirnya film Conclave, publik diajak untuk meraba-raba, membayangkan, dan pada akhirnya, merenung.
Bahwa di balik segala simbol, jubah, dan ritual, ada manusia-manusia yang bergulat dengan nurani, iman, dan sejarah. Dan dari sanalah, pemimpin seperti Paus Leo XIV akhirnya muncul: bukan dari cerita fiksi, tapi dari kenyataan yang diam-diam jauh lebih menyentuh.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI