Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti-Preman. Tak tanggung-tanggung, TNI pun kali ini turut mengerahkan intelijennya untuk memantau pergerakan premanisme yang berkedok organisasi masyarakat. Namun, pembentukan satgas ini justru mengundang pertanyaan publik yang sama: "Ini sudah yang keberapa?"
Pertanyaan ini wajar. Sejak bertahun-tahun lalu, kita terus disuguhi pembentukan satgas serupa---baik Satgas Anti Preman maupun Satgas Saber Pungli. Biasanya, langkah ini diambil sebagai respons atas kasus viral di media sosial, seperti pemalakan sopir kontainer atau kekerasan di pasar. Setelah beberapa hari penangkapan marak diberitakan, suasana kembali normal, lalu preman kembali beroperasi. Siklus ini terus berulang tanpa penyelesaian yang menyentuh akar.
Premanisme bukan sekadar gangguan keamanan. Ia adalah simptom akut dari ketidakhadiran negara. Preman hadir di tempat-tempat di mana negara absen---di pasar-pasar tradisional, terminal, pelabuhan, proyek-proyek pembangunan, hingga lapak pedagang kaki lima. Di situlah mereka mengambil alih fungsi keamanan dan pengaturan, lalu menagih "biaya jasa" yang tak pernah disepakati secara sukarela.
Jika kita turun ke lapangan dan berbincang dengan pedagang pasar atau pemilik warung kaki lima, kita akan tahu bahwa "uang keamanan" bukan mitos. Ia nyata, dibayar setiap hari, dan menjadi beban tambahan yang tidak kecil. Data dari LIPI tahun 2017 menunjukkan sekitar 40% pedagang pasar tradisional di Jakarta harus membayar pungutan tak resmi yang nilainya bisa mencapai puluhan ribu rupiah per hari. Di luar itu, masih ada pungutan liar dari pihak-pihak yang mengklaim sebagai "pengelola wilayah".
Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian dari mereka bukan preman biasa, melainkan bagian dari struktur mafia yang lebih terorganisir. Kita sedang berhadapan dengan kekuatan yang tidak hanya mengandalkan otot, tetapi juga jejaring---termasuk, ironisnya, dengan sebagian oknum aparat hukum sendiri. Di sinilah masalahnya menjadi lebih rumit: bagaimana memberantas preman jika sebagian dari pelindung hukum justru terlibat dalam jaringan tersebut?
Pembentukan satgas, sejauh ini, lebih bersifat reaktif ketimbang strategis. Ia hadir ketika tekanan publik membuncah, dan menguap begitu perhatian publik beralih. Padahal, pemberantasan premanisme tidak bisa dilakukan dengan cara instan. Ia menuntut reformasi kelembagaan yang menyeluruh, termasuk membenahi sistem pengelolaan fasilitas publik agar tidak membuka celah bagi "pengelola tak resmi".
Kita bisa belajar dari Jepang, negara yang pernah punya persoalan premanisme akut melalui kelompok Yakuza. Pemerintah Jepang tidak hanya mengkriminalisasi aktivitas Yakuza, tetapi juga mencabut legalitas organisasi mereka, melarang semua bentuk kerja sama bisnis dengan entitas yang terafiliasi, serta mendorong media untuk menghentikan glorifikasi kekerasan. Proses ini tidak berlangsung semalam. Ia ditempuh dengan strategi hukum, sosial, dan kultural yang konsisten selama bertahun-tahun.
Yang perlu digarisbawahi: Jepang berhasil bukan karena membentuk satgas, tetapi karena menghadirkan negara secara menyeluruh. Mereka memastikan tidak ada ruang abu-abu tempat preman bisa tumbuh. Hal yang justru sering kali gagal kita lakukan di Indonesia.
Di negeri ini, preman tumbuh subur karena absennya pengawasan, lemahnya sistem hukum, dan buruknya tata kelola fasilitas umum. Seolah negara sengaja membiarkan ruang-ruang sosial tertentu menjadi "liar", lalu sesekali turun tangan seolah-olah sebagai penyelamat. Pola ini tidak menyelesaikan masalah, hanya menunda ledakan.
Sudah saatnya kita berhenti membuat satgas demi satgas. Sudah saatnya kita membangun sistem. Penanganan premanisme harus menjadi bagian dari reformasi hukum dan tata kelola publik, bukan proyek sesaat penuh sorotan kamera. Negara harus hadir bukan hanya ketika ada kamera, tetapi dalam keseharian warga kecil yang saban hari bergelut dengan intimidasi, pungutan liar, dan rasa tidak aman.
Kalau tidak, lima tahun dari sekarang, kita akan menulis lagi opini serupa: "Satgas Anti Preman Kembali Dibentuk". Dan lagi-lagi, kita akan bertanya, "Ini sudah yang keberapa?"