Di tengah dinamika politik nasional yang kian kompleks pasca-Pemilu 2024, Presiden Prabowo Subianto akhirnya angkat bicara. Dalam Sidang Kabinet Paripurna yang digelar pada Senin, 5 Mei 2025, di Istana Merdeka, ia menyatakan secara tegas: "Saya bukan boneka siapa pun." Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap tuduhan sejumlah pihak yang menyebut dirinya sebagai "presiden boneka" dari Joko Widodo, pendahulunya yang kini masih berpengaruh kuat dalam konstelasi politik nasional.
Prabowo menyatakan bahwa menjalin komunikasi baik dengan para mantan presiden bukanlah hal tabu, melainkan sikap kenegarawanan yang seharusnya dijunjung tinggi. "Saya minta masukan dari Presiden ke-6 Pak SBY, dari Presiden ke-5 Bu Megawati Soekarnoputri, dan juga dari Presiden ke-7 Pak Joko Widodo," ujarnya. "Mereka punya pengalaman. Kenapa saya tidak boleh mendengarkan mereka?"
Pernyataan ini bukan sekadar klarifikasi, tapi juga sinyal penting bahwa Prabowo tengah membangun citra kepemimpinannya sendiri---yang mandiri namun tetap menghormati sejarah dan kesinambungan.
Tradisi yang Baru Dimulai
Menilik sejarah pascareformasi, hubungan antara presiden dan mantan presiden di Indonesia cenderung kaku, bahkan renggang. Susilo Bambang Yudhoyono nyaris tak pernah bertemu secara formal dengan Megawati setelah menggantikannya. Hubungan Jokowi dan SBY juga diwarnai ketegangan politik, terutama pada periode kedua pemerintahan Jokowi. Kini, pada masa transisi antara Jokowi dan Prabowo, publik menyaksikan sesuatu yang baru: adanya keakraban dan kesinambungan yang lebih mulus.
Keakraban ini, pada satu sisi, menumbuhkan optimisme akan stabilitas politik nasional dan kelanjutan program pembangunan. Prabowo bahkan menegaskan komitmennya untuk melanjutkan program strategis era Jokowi, mulai dari pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) hingga transformasi digital dan hilirisasi industri. Dalam konteks tata kelola negara, kesinambungan kebijakan adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Kita tentu masih mengingat betapa banyak program pemerintah yang mubazir karena diganti total saat berganti rezim.
Namun, di sisi lain, kedekatan ini juga menjadi celah serangan bagi para oposisi. Tuduhan bahwa Prabowo hanyalah perpanjangan tangan Jokowi terus digemakan. Istilah "presiden boneka" digaungkan di media sosial dan forum-forum diskusi sebagai cara meragukan kemandirian kepemimpinannya.
Tuduhan Politik atau Strategi Perpecahan?
Perlu disadari bahwa tudingan semacam itu tidak berdiri di ruang hampa. Ada strategi politik di baliknya. Dengan menjatuhkan persepsi publik bahwa Prabowo tidak otonom, lawan-lawan politik berusaha menggembosi legitimasi moral dan elektoralnya. Mereka berharap muncul kekecewaan dari basis pendukung lama Prabowo yang merasa dikhianati karena terlalu dekat dengan Jokowi, dan dari kubu Jokowi yang mungkin ragu memberikan kepercayaan penuh.
Namun strategi ini berisiko memecah belah bangsa. Hoaks, manipulasi narasi, dan provokasi identitas telah menjadi senjata politik yang merusak demokrasi kita dari dalam. Lembaga seperti Mafindo dan Kominfo mencatat bahwa selama 2024-2025, lebih dari 2.500 hoaks politik tersebar luas di media sosial, sebagian besar terkait dengan isu pemilu, pemerintahan, dan relasi antar tokoh nasional.
Apakah ini yang kita inginkan dalam demokrasi? Demokrasi yang bukan diisi oleh perdebatan visi, tapi saling tuduh dan perang kata-kata kosong?