---
Gibran dan Tantangan Awal Kepemimpinan
Kini, tantangan serupa mulai mendekat pada Gibran. Ia memang melewati fase percepatan luar biasa: dari Wali Kota Solo, langsung melesat ke kursi Wakil Presiden RI. Kritik terhadap proses pencalonannya, termasuk keputusan MK yang membuka celah hukum, menjadi beban moral yang harus ia hadapi.
Namun Jokowi tampaknya tidak ingin membungkus Gibran dalam kenyamanan politik. Ia membiarkan putranya berdiri di tengah badai kritik. Karena, menurutnya, seorang pemimpin tidak bisa terbentuk dalam ruang hampa. Jika Gibran berhasil melewati ini dengan kerja nyata, maka ia layak disebut pemimpin. Jika tidak, maka sejarah akan mencatatnya sebagai buah dari percepatan yang gagal berbuah kematangan.
---
Apa Sikap Terbaik bagi Gibran?
Dalam konteks ini, Gibran sebaiknya tidak melawan kritik dengan argumen defensif. Ia harus menjawabnya lewat kerja konkret. Fokus pada tugas sebagai Wakil Presiden: menyambungkan suara rakyat ke pusat kekuasaan, merangkul generasi muda, serta menunjukkan bahwa dirinya lebih dari sekadar "putra presiden".
Di sinilah ujian sejati seorang pemimpin dimulai. Tidak cukup hanya terpilih---ia harus membuktikan bahwa dirinya memang layak dipilih. Dan Jokowi tampaknya sadar, bahwa peran seorang ayah yang baik bukan membentengi anak dari kenyataan, tetapi membiarkannya belajar dari kerasnya dunia kepemimpinan.
---
Dari Solo ke Istana, Jalan Tak Pernah Mudah
Jokowi bukan sekadar pemimpin yang lahir dari rakyat, tapi juga simbol bahwa ketekunan dan keberanian menghadapi kritik bisa membawa seseorang ke puncak kekuasaan. Saat ia menyebut "tempaan" bagi Gibran, itu bukan basa-basi. Itu adalah pengalaman pribadinya sendiri.