Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tok, 7 Paku Peti Mati KPK Diketok

17 September 2019   08:46 Diperbarui: 17 September 2019   08:58 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: detik.com

Tok, kesepakatan poin tentang perubahan UU KPK sudah diketok. 

Ini adalah proses tercepat perubahan UU yang terjadi di jaman reformasi. Semua sudah diatur, tinggal diformalkan saja. Permainan rapi, tak ada celah untuk menyela. Tidak ada poin yang tidak disetujui, seluruh revisi UU KPK diamini.

Ya, selang beberapa hari setelah surat presiden dikirimkan ke DPR persetujuan akan tujuh hal perubahan telah disetujui oleh DPR dan pemerintah. (Kompas.com)

Inilah ke tujuh poin perubahan yang disetujui oleh DPR dan Pemerintah itu:

Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.

Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas.

Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.

Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK.

Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.

Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.

Ketujuh poin ini ibarat 7 paku yang menutup peti mati KPK. Mengapa?

Mari kita telaah satu persatu poin tersebut.

Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.

Untuk poin ini seolah KPK tidak berubah, karena ada kata "independen" didalamnya. Namun kenyataan nya perubahan ini justru menghilangkan frasa  KPK sebagai lembaga negara yang independen dan "bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun".

Dalam bahasa hukum, dengan perubahan frasa ini jelas ada ruang untuk melemahkan posisi KPK karena kata "indepen" menjadi abu - abu, tergantung interpretasi pihak yang punya kepentingan.

Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas.

Dalam hal ini, Jokowi tidak mengubah keinginan DPR untuk memasukkan lembaga tambahan pada KPK. Dalam catatan nya, Jokowi hanya mengusulkan mekanisme pemilihan Badan Pengawas tersebut yang dilakukan oleh panitia yang dipilih oleh Presiden. 

Namun tentu saja DPR mau agar mereka juga punya peran untuk menentukan para anggota Dewan Pengawas tersebut. Di sini akan terbuka lagi satu area negosiasi yang bisa diduga sebagai ajang tawar menawar politik baru.

Selain itu, dengan adanya Dewan Pengawas maka rantai tindakan KPK akan diperpanjang karena Dewan Pengawas diberikan peran untuk melakukan penyadapan. Dengan demikian tentu juga akan mempengaruhi tindakan OTT yang menjadi momok paling menakutkan para koruptor selama ini.

Bahkan dengan menambah peran Badan Pengawas dalam hal ini bisa menggagalkan tindakan KPK karena bisa saja kepentingan penyadapan KPK tidak disetujui oleh Badan Pengawas.

Sebenarnya alasan menambah Dewan Pengawas sebagai dalih agar KPK tudak menjadi badan Super body atau "malaekat" adalah alasan yang dibuat - buat. 

Toh selama ini, KPK sudah diawasi dan mempertanggungjawabkan kegiatan dan keuangan mereka pada DPR. KPK juga sudah punya Dewan Etik internal yang selama ini telah berperan untuk menilai dan memutuskan jika terjadi pelanggaran etika bagi para pimpinan dan staf KPK. 

Dalam hal ini, sudah terbukti bahwa para pimpinan KPK dan staf KPK bukanlah imun terhadap tindakan hukum. Sudah beberapa staf dan pimpinan KPK yang kena sanksi dan bahkan diberhentikan serta dipidana karena melanggar etika dan hukum.

Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.

Untuk poin ini, telah dipaparkan di atas. Kalau selama ini fungsi penyadapan langsung bisa dilakukan oleh KPK, namun dengan adanya peran Dewan Pengawas, maka pasti terjadi keterlambatan dan bahkan kegagalan dalam prosesnya. 

Itu berarti tindakan OTT KPK yang selama ini begitu menakutkan para koruptor, setelah poin ini disetujui, maka operasi OTT pasti jauh berkurang dan para koruptor bisa tidur dengan tenang.


Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK.

Keinginan untuk memasukkan poin ini sebenarnya tidak ditolak Jokowi, hanya dia menambah jangka waktu dari satu tahun menjadi dua tahun. 

Kalau dilihat, roh mengapa KPK tidak bisa melakukan SP3 karena diharapkan para penyidik KPK tidak main - main dalam memutuskan suatu perkara. Karena begitu sudah diputuskan sebagai tersangka maka proses hukumnya tidak bisa dihentikan. Harus diselesaikan dengan tuntas. 

Namun dengan adanya SP3 ini, roh ketelitian dan keakuratan para penyidik KPK akan hilang. Juga itu berarti, perkara - perkara besar korupsi tidak akan bisa lagi ditangani karena biasanya kasus besar seperti BLBI dan KTP elektronik membutuhkan waktu lama dalam proses penyidikannya, karena melibatkan banyak orang dan terorganisir bagai mafia.

Artinya jelas, setelah revisi ini KPK hanya akan menangani kasus korupsi kelas teri saja 

Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Perubahan ini juga sebenarnya tidak perlu ada, karena selama ini kerjasama KPK dengan para penegak hukum lain sudah ada dan terlaksana. Bahkan dalam kasus korupsi, KPK sudah berperan sebagai pengawas untuk aparat penegak hukum lainnya.

Nampaknya peran pengawasan inilah yang ingin dilemahkan dengan adanya revisi di poin ini. Kata "koordinasi" patut diduga akan berarti "kerjasama" atau bahkan "kongkalikong".

Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.

Poin ini juga jelas mau membuka celah atas tindakan KPK yang selama ini sudah baik. Ini kembali memperpanjang rantai tindakan KPK karena prosesnya harus lagi disetujui oleh dewan pengawas. Efek kejut dari tindakan KPK menjadi hilang.

Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.

Poin terakhir ini adalah gada yang cukup besar dalam memberangus KPK. 

Argumen mereka yang menyetujui hal ini adalah karena KPK menggunakan APBN maka wajar para stafnya berstatus PNS. 

Padahal dengan status ini, kekuatan internal KPK yang selama ini bisa menjadi benteng dan obat imun terhadap pengaruh luar yang ingin menghancurkan integritas dan sistem pertahanan KPK menjadi hilang.

Dengan menjadi PNS maka seluruh prosedur kepegawaian KPK harus menggunakan sistem PNS. Padahal sudah diketahui secara umum bahwa sistem PNS saat inimasih terkenal sebagai sistem birokrasi yang belum efektif.

KPK sendiri sebenarnya sudah punya sistem sendiri yang lebih baik,  yang menjadikan siapapun yang bekerja di KPK sudah diseleksi dan diperkuat dalam menjaga profesionalitas, integritas dan efektivitas kinerja KPK.

Hal yang paling krusial adalah, jika semua pegawai KPK berstatus PNS maka termasuk juga para penyidik KPK akan menjadi PPNS. Hal ini berarti menghilangkan independensi para penyidik KPK karena semua PPNS berada di bawah kendali pengawasan, atau Korwas Kepolisian.

Dengan mengupas satu persatu poin ini sangatlah jelas keinginan dan tekad Jokowi untuk memperkuat KPK bisa dikatakan sebagai delusi saja, karena dengan menyetujui poin - poin revisi di atas, alih - alih memperkuat, malahan yang terjadi pelemahan dan bahkan pembunuhan KPK.

Ketujuh poin perubahan UU KPK sudah disetujui, ketujuh paku mati KPK telah diketok. Sekarang ini tinggal melanjutkan upacara  pemakaman nya saja. RIP.

Apakah masih ada harapan KPK akan bangkit dari kematiannya. Wallahu alam.***MG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun