Penolakan ini tentu membuat publik semakin curiga, apakah benar data - data yang mereka punya itu ada dan bisa dipertanggungjawabkan?.
Sebenarnya dengan sistem Pemilu yang sekarang ada sangat sulitkah untuk melakukan kecurangan besar - besaran.
Setiap TPS mempunyai saksi dari kedua kubu. Juga ada saksi independen dan Bawaslu. Masing - masing saksi mendapat copy C1. Sehingga bisa di kroscek jika ada kecurangan  dan usaha menipu.
Dengan metode berjenjang, berarti dalam setiap tahapan yang dimulai dari TPS, desa, kecamatan/kelurahan, kabupaten/kota, propinsi dan terakhir secara nasional, semua data itu bisa ditelaah dan dikroscek ulang.Â
Jika ditemukan kesalahan atau kecurigaan kecurangan, maka hal itu bisa dikoreksi dalam setiap tahapan.
Dalam penghitungan real count secara online di KPU pun perolehan suara bisa di telusuri dan dilacak sampai ke TPS. Apalagi  telah disiapkan data scan dari masing-masing formulir C1 yang sah.
Seandainya masih ada usaha untuk melakukan kecurangan, lembaga independen seperti Kawal Pemilu bisa dijadikan sebagai referensi tambahan.
Juga sebenarnya hasil Quick Count justru merupakan mekanisme kontrol untuk mencegah adanya kecurangan. Mekanisme Quick count dari lembaga independen tujuannya memang untuk itu. Â Karena jika terjadi kecurangan maka hasilnya akan jauh atau mungkin bertentangan dengan hasil Quick Count.Â
Kembali pada pertikaian antara adu data versus Pembentukan Tim Pencari Fakta. Secara logis, jika ingin membuktikan adanya kecurangan atau tidak, sesuai perundangan dan pasti lebih efektif, adalah dengan cara adu data pada saat rekapitulasi.Â
Jika tidak berani melakukan itu maka jangan salahkan masyarakat jika menjadi curiga bahwa tuduhan kecurangan itu hanya isapan jempol belaka. ***MG