Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Seandainya Jokowi adalah Soeharto

5 Maret 2019   09:28 Diperbarui: 5 Maret 2019   10:05 2375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Makassar.tribunnews.com

Penulis menjadi tergelitik untuk menulis tema ini, karena sudah banyak tuduhan pada pribadi dan kebijakan Jokowi yang menggunakan ungkapan yang disematkan pada Soeharto oleh para penentang mantan presiden itu dulu. 

Dan di lain pihak ada kelompok yang sedang getol-getolnya mengajak masyarakat untuk kembali ke zaman Orde Baru.

Ungkapan yang sama tersebut seperti: diktator, otoriter, memusuhi umat Islam, merekayasa kasus, kriminalisasi tokoh agama dan lawan politik serta pihak oposisi, tebang pilih dalam kasus hukum.

Pada masa Soeharto memang banyak kasus dan kebijakan yang dapat membenarkan predikat-predikat di atas. 

Bagi yang mengalami, pasti masih ingat bagaimana lewat tangan Ali Murtopo dengan operasi-operasi intelejen Operasi Khusus (Opsus), Soeharto memberangus lawan-lawan politik pemerintahannya.

Atas perintah Soeharto, Ali Murtopo juga menggagas peleburan partai-partai politik, yang saat itu sangat banyak jumlahnya, menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah dikendalikan. 


Dengan demikian Pemilu hanya bagai seremoni lima tahunan yang kita sudah tahu, partai mana yang menang dan siapa presidennya walau suara hasil pencoblosan belum dihitung.

Pada masa orba suara berbeda dan oposisi sangatlah haram. Kalau ada yang berani mengkritisi kebijakan Soeharto jelas akan ditindak dan disingkirkan. 

Contoh kongkrit dalam hal ini adalah apa yang terjadi dengan kelompok oposisi yang menamakan dirinya Kelompok Petisi 50. Kelompok ini mengeluarkan suatu dokukumen yang disebut sebagai Petisi 50. 

Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah "Ungkapan Keprihatinan" dan ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan gubernur Jakarta Ali Sadikin dan mantan Perdana Menteri M Baharuddin Harahap dan Mohammad Natsir. Tokoh - tokoh yang sebenarnya sangat berjasa bagi keberadaan negara ini.

Namun Soeharto tidak bisa menerima kritikan tersebut. Memang, mereka tidak dipenjara tapi sejak itu mereka dibunuh dan diamputasi secara politik dan dikucilkan. 

Pada akhir pemerintahannya, tahun 1998 banyak aktivis pemuda dan  mahasiswa yang diculik dan hilang. Sampai saat ini beberapa diantara mereka tidak diketahui entah di mana rimbanya.

Pada era Soeharto berkuasa, kemerdekaan mengemukakan pendapat yang seharusnya dijamin undang - undang pun diberangus. Pembredelan media masa adalah hantu yang sangat menakutkan. Jika media itu menerbitkan laporan atau opini yang dianggap melawan pemerintah, maka langsung ijin terbitnya dicabut. Tidak ada Dewan pers dan pengadilan untuk membawa kasus media.

Media - Media  yang dibredel jaman ORBA:

Dalam hal ini Kompas selamat karena pintar menulis dengan makna di antara baris. Di mana yang dikritik merasa sakit tapi tidak bisa membuktikan bahwa itu adalah kritik.

Ideologi Soeharto tidak memungkinkan adanya pandangan lain. 

Umat Islam yang adalah mayoritas di negeri ini ditekan. Saat itu simbol - simbol religiusitas dilarang, dengan alasan untuk menjaga Kebhinekaan. 

Hampir tidak ada umat muslim yang memakai jilbab. Kalau ada yang memakai langsung dicap sebagai radikal. Peristiwa Tanjung Priok dan Talang Sari adalah peristiwa yang secara langsung ada hubungannya dengan penindasan ini.

Nah itu sebagian dari apa yang terjadi di era pemerintahan Soeharto. Kalau Jokowi adalah Soeharto maka:

Tidak akan ada suara oposisi di parlemen. Bahkan mungkin sudah lama tokoh - tokoh nya seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah tidak bisa bicara lagi ke media karena sudah pasti dibungkam.

Banyak media akan dicabut ijinnya karena memuat laporan dan opini yang mengkritisi pemerintah. 

Tidak ada badan survey untuk memprediksi hasil pemilu karena sebelum hari pencoblosan pun, kita semua sudah tahu siapa yang akan menjadi Presiden.

Tidak pernah terjadi demonstrasi besar-besaran yang mengatasnamakan agama. Tidak ada yang berani menggunakan pakaian dan simbol - simbol keagamaan sebab akan dicap sebagai radikal.

Tidak ada partai politik baru karena pasti dibatasi demi supaya mudah dikendalikan pemerintah. 

Penjara akan penuh oleh mereka yang mencaci maki, menyebarkan hoax dan memfitnah Presiden.

Dan tentu saja tidak ada Kompasiana karena tidak ada yang berani menulis opini. 

Jadi apakah cocok predikat - predikat yang dilekatkan pada  Jokowi seperti predikat yang sama dengan Soeharto? Apakah kita masih rindu pada jaman Orde Baru?***MG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun