Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Soneta Nostalgia Sekolah Kami

3 Maret 2019   11:48 Diperbarui: 27 Maret 2019   08:44 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: pedia.123.blogspot

Pagi ini, sambil menunggu jadwal pertandingan sepakbola putra penulis, kami duduk santai dalam mobil di lokasi parkir luas sebuah persekolahan ternama bertaraf internasional.

Sambil memandang megahnya gedung persekolahan, rindangnya pepohonan dan luasnya lapangan di komplek ini, penulis menerawang pada kenangan sekolah di mana dulu penulis menuntut ilmu.

Ya, sekolah kami dulu terletak nun jauh di pedalaman Kalimantan. Soal gedung dan fasilitas tentu tidak bisa dibandingkan dengan sekolah ini. Bahkan boleh dikatakan bagai bumi dan langit. Sangat kontras. 

Rumah sekolah kami dulu tidak bisa dikatakan sebagai gedung, tapi lebih tepatnya pondok. Pondok yang terbuat dari dinding cacahan bambu dan beratap daun sagu. 

Lantainya pun masih tanah sehingga kalau hujan datang, lantai sekolah berubah menjadi kubangan lumpur. Bahkan kadang - kadang ada mata air yang mengalir dari bawah meja.

Meja belajar pun bukan terbuat dari mebel indah tapi dari tiga bilah papan yang ditopang oleh kayu, atau lebih tepatnya potongan pohon, yang ditancapkan langsung ke lantai tanah. Kadang - kadang tiang meja kami bertunas. Ini seperti satu mukjizat.

Namun waktu itu rasanya tidak ada yang kurang. Bahkan ada cerita seru dan lucu yang sampai saat ini menjadi kenangan indah. 

Karena berdinding bambu, maka banyak bagian yang rapuh menjadi bolong. Kadang - kadang terjadi, guru kami bingung karena ada murid yang tiba - tiba hilang, mereka keluar dari lubang dinding di belakang karena sudah kebelet untuk pergi ke WC.

Jika hujan, kami mendapat lapangan bermain ekstra. Lantai tanah yang becek berlumpur dan licin justru menjadi tempat bermain luncuran seperti bermain ski. Saat itu kami memang berkaki telanjang, tidak pakai sandal apalagi sepatu.

Sering terjadi, terutama di musim hujan, sekolah diliburkan karena atap daun sagu sekolah kami terbang terbawa angin yang bertiup kencang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun