Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa GOLPUT Perlu Bertobat?

21 Februari 2019   06:30 Diperbarui: 21 Februari 2019   15:09 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://parstoday.com

Hampir disetiap perhelatan Pemilu gaung suara Golput selalu terdengar. Pemilu dan Pilkada serentak yang akan dilakukan pada bulan April ini pun tidak ketinggalan, walaupun gaungnya tidak terlalu besar. 

Meskipun demikian nampaknya cukup membuat gerah mereka yang sedang bertarung karena untuk situasi saat ini 'masa mengambang' ini menjadi perebutan dari kedua belah pihak. 

Golongan putih atau yang disingkat golput  sendiri sudah akrab cukup lama. Ini merupakan istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes dari para aktivis mahasiswa dan pemuda  untuk mengkritisi pelaksanaan Pemilu 1971   yang merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru.

Pada saat itu pesertanya  ada 10 partai politik, jumlah peserta jauh lebih sedikit daripada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik. 

Arif Budiman adalah tokoh yang cukup dikenal sebagai pemimpin gerakan ini. Namun, pencetus istilah "Golput" ini sendiri adalah imam Waluyo. 

Dipakai istilah "putih" karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara. 

Artinya mereka tetap datang dan mencoblos di bilik suara namun coblosan mereka tidak sah. Dalam situasi saat itu tidak banyak yang berani untuk tidak datang ke TPS karena akan ditandai.   

Untuk selanjutnya Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya sebagai  partai politik dominan pada masa Orde Baru. 

Pada saat itu golput pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral. Gerakan ini  dicetuskan pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama di era Orde Baru dilaksanakan. 

Arief Budiman sebagai salah seorang eksponen Golput berpendapat bahwa gerakan tersebut bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun. 

Saat itu memang dengan atau tanpa Pemilu Soeharto dan ABRI-lah yang tetap berkuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun