Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Suguhan Revolusi Pers ala Film "The Post"

6 Maret 2018   02:00 Diperbarui: 6 Maret 2018   02:02 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film The Post menjadi karya visual kolosal yang berhasil mengungkapkan sisi lain dari realitas kebohongan yang pernah terjadi di dunia. Film ini menyuguhkan sense of urgent ditengah jaman yang begitu masif akan tsunami berita palsu selama setengah dekade terakhir. 

Mengapa ? Karena The Post memberikan pelajaran utama : pembohongan besar adalah salah satu sumber perusak rezim demokrasi. Hanya saja, kiat tersebut dibuktikan dengan cara yang berbeda, bahwa pembohongan yang dimaksud tidak selalu berbentuk gejala kecenderungan masyarakat sipil (misalnya produksi hoaks), tetapi pemerintah pun juga bisa menjadi tangan pertama darimana pembohongan itu datang (misalnya --dalam film ini-- dengan cara menyembunyikan kebenaran sejarah).   

Cerita berawal dari Daniel (Matthew Rhys) dan Mc. Namara (Bruce Greenwood) menemukan fakta tentang kesombongan Amerika yang rela mengirim para tentaranya untuk berhadapan dengan Vietnam, meskipun mereka tahu bahwa itu adalah hal yang sungguh sia-sia dan tidak akan sedikitpun akan membawa negara adidaya itu pada kemenangan. 

Kesetiaan Mc. Namara pada pemerintah, mendorong dirinya untuk menyembunyikan makalah buatannya yang mengungkapkan kebenaran tentang kekalahan Amerika melawan Vietnam. Namun tidak dengan Dan. Kisah yang baru dimulai, kala Dan memutuskan untuk mencetak ulang dokumen sebanyak 4000 halaman tersebut dan menghilangkan status kerahasiannya dengan menggunting sebagian badan kertas yang bertuliskan : classified (rahasia). 

Setelah itu, alur langsung melompat ke masalah internal sebuah perusahaan surat kabar Washington Post yang ingin mendaratkan sahamnya di bursa efek agar eksistensinya tetap melaju, ditengah kondisinya yang hampir mengalami kekosongan otoritas setelah pemiliknya meninggal. Cerita langsung terporos pada konflik kecil antara Kay Graham (Meryl Streep) --selaku  Istri dari sang pemilik yang merupakan tokoh utama dalam film ini-- dengan Ben Bradlee (Tom Hanks), editor eksekutifnya yang setia. 

Ambisi Ben yang begitu besar untuk membawa nama Washington Post dari posisinya yang hanya koran lokal menjadi koran nasional, tidak hanya bercampur aduk dengan tarik ulur penjualan saham tersebut, tetapi juga dengan ketegangan upaya perusahaan tersebut merebut akses peliputan putri Presiden Richard Nixon. 

Selanjutnya, alur semakin kian kompleks ketika --salah satu perusahaan media saingan terbesarnya-- New York Times hadir dengan headline beritanya yang berhasil mengejutkan banyak pihak. Beberapa bagian dari konten asli dokumen kekalahan Amerika terhadap Vietnam milik Mc. Namara terpampang jelas di halaman depan koran mereka. 

Selaras dengan ambisi Ben, ia pun melihat itu sebagai tanda bahwa sesuatu yang menjadi rahasia besar negara telah bocor. Siasat untuk memburu bagian-bagian lain dari berkas yang dinamakan sebagai dokumen Pentagon itu pun dimulai. Akhirnya hal itu membawa Washington Post kedalam pertemuan dengan Dan, saksi berharga atas kebenaran konten dokumen tersebut sekaligus pihak yang memperbanyaknya. 

Misi sempat terhenti, kala beberapa waktu pasca penerbitan berita tadi berdampak pada terseretnya New York Times ke meja hijau. Akibatnya, Washington Post ikut jatuh kedalam posisi terancam. Terlebih lagi, Dan adalah narasumber yang sama dengan narasumber pemberitaan New York Times. 

Seketika, Washington Post dihadapkan dengan sebuah dilema etis : apakah membatalkan pempublikasian konten dokumen tersebut demi tetap menjaga hubungan baik dengan Pemerintah atau ikut melanggar UU Spionase dan tetap membuat berita seperti yang direncanakan ? Apakah Washington Post ingin menjauhkan Kay Graham dan para pekerjanya dari jeratan penjara atau tetap berada di jalan kebebasan pers dengan konsekuensi bahwa mereka akan dianggap menganggu stabilitas negara ?

Berdasarkan sinopsis tersebut, nampaknya film karya Steven Spielberg sukses menggabungkan beberapa dimensi dari kompleksitas kehidupan sebuah media : persaingan didalam pasar, bagaimana mereka berkerja, dan posisinya ketika berhadapan dengan pemerintah. Hampir mirip seperti Spotlight (2015), film ini membuka mata awam akan hal-hal tak terduga didalam bagaimana jurnlisme berkerja. 

Bedanya, jika Spotlight membuat penonton merasakan betapa beratnya berburu narasumber, The Post menghadirkan gambaran betapa dinamisnya suasana di ruang redaksi (newsroom), rapat para reporter yang seakan tidak berujung dan proses editing berita yang super ketat. Secara psikologis, penikmat film diposisikan sebagai pihak yang terhimpit diantara tuntutan profesionalisme yang hati-hati dan deadline yang sungguh menekan. 

Hal-hal semacam itu begitu ditunjukan secara gamblang dan mengena, misalnya melalui adegan dimana para reporter berusaha untuk menyortir 4000 halaman dokumen Pentagon --agar menjadi sumber pemberitaan yang valid dan sistematis-- dalam waktu yang begitu terbatas sambil menunggu diterbitkan keesokan harinya. Selain itu, adegan yang memperlihatkan suasana ruang redaksi saat mendengarkan hasil voting putusan Mahkamah Agung yang mengampu pengadilan pers melawan pemerintah juga tidak kalah membekas. 

Belum lagi, ketika membicarakan adegan dimana Ben menghampiri Kay secara antusias dalam kondisi sedang membawa kantung kertas yang terlihat sangat penuh. Ketika isinya dikeluarkan, setumpuk penuh koran menyadarkan mereka bahwa langkah revolusioner Washington Post telah ditiru oleh media-media surat kabar lainnya.

Aktor dan aktris utama didalam film ini mempunyai permainan karakterisasi yang begitu kuat. Streep jelas sangat hebat memainkan mimiknya, yang dimana itu sangat menunjukan bahwa ia memiliki komitmen yang besar untuk menempatkan dirinya sebagai perempuan tua bernama Kay yang dihadapkan dengan tekanan dua pilihan dan konsekuensi. 

Sikapnya yang begitu berpendirian dan mempunyai rasionalitas yang tinggi dalam menghadapi sebuah masalah, merepresentasikan sisi lain wanita sebagai individu yang mampu mencari tempat didalam pengambilan keputusan. Misalnya, ketika Kay berteriak kepada para komisaris dan ahli hukum : "Ini bukan lagi perusahaan ayahku, bukan lagi perusahaan suamiku, tetapi telah menjadi perusahaanku". 

Berkat itu, dimensi melankolis berhasil memperkaya film ini dengan mulus tanpa mendominasi. Hal itu semakin didukung oleh akting Hanks sebagai jurnalis yang tidak hanya hebat dan pekerja keras, tetapi juga punya idealisme yang tinggi dalam menjunjung kebebasan pers serta ambisi yang serius dalam memenangkan persaingan media.

Namun, didalam film ini tetap teridentifikasi kekurangan-kekurangan yang mereduksi aspek sinematik dan cerita. Hampir sebagian besar dari setengah film ini menunjukan kekosongan konflik, yang dimana bisa saja itu membuat audiens bertanya-tanya : 'apa masalah serius yang dihadapi didalam film ini ?'

Mungkin ini adalah konsekuensi logis dari keterburu-buruan Spielberg dalam menggarap The Post yang dikarenakan proses produksinya bersamaan dengan momen pra-produksi Ready Player One. Disamping itu, musik latar yang kurang mendukung suasana secara substansial menambah daftar hal-hal yang diperbaiki.

Sebagai penutup, The Post tidak hanya berhasil mengkomunikasikan penilaian tentang bagaimana hubungan antara pemerintah dan pers yang baik dan seharusnya, tetapi juga sukses meyakinkan kita bahwa kecenderungan menjadi ahistoris dan sikap menyembunyikan kebenaran masa lalu bukanlah karakter yang pantas digenggam oleh sebuah negara. 

Film ini mendorong publik untuk belajar dalam melihat sebuah rezim. Ada nilai yang begitu ditekankan disini, yakni bahwa demokrasi sejati hendaknya memperhatikan pilar keempat yang tetap meyangganya berdiri. 

Kebebasan pers merupakan bagian dari kebebasan publik, karena pada pers lah publik sepenuhnya menaruh akses dan kepercayaan mereka pada transparansi informasi. Hal ini begitu sejalan dengan pernyataan dariHakim Black yang menjadi penutup film ini : "Pers adalah untuk melayani rakyat, bukan pemerintah".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun