Mohon tunggu...
Mario Elang
Mario Elang Mohon Tunggu... -

Sedih... sakit... gembira... bahagia... Semuanya dijalani dgn ikhlas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bersyukur (pernah) Mencintaimu

2 November 2011   07:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:09 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak kusangka hujan badai itu datang lagi.   Di saat kita berusaha memupuk tanaman yang kita semai bersama di ladang itu,  di saat aku mulai yakin dengan panen pada musim mendatang,  hujan  badai memporak-porandakan semuanya. Hari-hari terakhir ini kau telah berubah.  Kau menolak untuk memupuk tanaman itu,  meski aku mencangkulnya setiap hari.   Kau menemukan alasan untuk tak melakukannya.   Intuisiku mengatakan ada tanaman lain yang kau semai tanpa sepengatahuanku.   Kurangkai fakta dan temuan kecil yang kupunya.   Meski semua mengarah kesana,  tapi aku selalu berusaha menepisnya.   “Tak mungkin,”  itulah jawabku setiap kali pertanyaan itu muncul di benak.   Tapi perubahan-perubahan kecil padamu yang tak kausadari, selalu menjadi perhatianku. Telah kuingatkan bahwa musim ini kejam,  musim ini membunuh dan  saling memangsa.  Musim di komunitas ini hanya semu dan tak nyata.   Tak perlu membuka peluang orang asing untuk datang dan menganggu tanaman kita.  Aku khawatir tanaman itu akan jadi korban dan takkan ada panen  pada musim mendatang.   Tapi sulit untuk menghentikanmu di tengah euforia dalam komunitas itu. Sekarang  setelah badai ini,  aku melihat ujung riwayat tanaman yang kita semai bersama.   Aku tak pernah menginginkan akhir seperti ini.  Kau memang bebas menentukan ladang mana yang kaupilih untuk tanaman barumu,  seperti yang kauimpikan.  Aku harus ikhlas tak menjadi bagian dari mimpimu itu.   Namun satu hal yang harus kautahu,  aku akan tetap memelihara tanaman lama kita.   Biarlah aku sendiri yang memupuk dan menyiramnya tiap saat,  seperti janjiku saat itu.  Aku akan tetap menghadapi badai yang akan datang,  meski hanya sendiri tanpamu. Untuk yang terakhir kali kukatakan, aku tak pernah menyesal telah menitipkan secarik kertas di pintumu waktu itu.  Aku memang datang hanya untuk satu orang dan untuk satu alasan. Sekarang,  setelah badai ini reda,   tak ada amarah atau dendam dalam hatiku.  Yang ada hanya doa tulus untuk kebahagiaanmu.   Dan…   ijinkan kuambil kembali bunga cinta yang pernah kutitipkan di hatimu.   Aku tak ingin cintaku itu membebanimu. Kini,  tak ada lagi yang akan kukatakan selain bersyukur bahwa aku mencintaimu.   Ya….  aku bersyukur pernah mencintaimu. ——————————————————————————– Ditulis atas pesanan seorang sahabat lama.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun