Mohon tunggu...
marima delmar aldama
marima delmar aldama Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Implikasi Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Terhadap Efektivitas Penyelenggaraan Demokrasi

9 Oktober 2025   05:05 Diperbarui: 9 Oktober 2025   05:09 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Adanya judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah menghasilkan skema baru dalam penyelenggaraan demokrasi langsung, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa ketentuan frasa "dilaksanakan secara serentak" yang termaktub dalam ketentuan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu dinyatakan inkonstitusional. Dalam pertimbangannya MK menjelaskan bahwa pemilihan Presiden, anggota legislatif pusat dan daerah memiliki jarak waktu yang berdekatan dengan pemilihan umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota, sehingga berdampak pada penurunan kualitas efektivitas pelaksanaan demokrasi.("Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Terhadap UUD NRI Tahun 1945" 2024). Pemilu serentak yang dilaksanakan pada tahun 2019 telah menimbulkan banyaknya persoalan, yang dimulai dari sistem menegerial yang buruk terutama dalam distribusi logistik berdampak pada adanya pemilihan ulang susulan pada 2249 TPS, disamping itu proses penghitungan suara yang harus dilaksanakan pada hari yang sama setelah pencoblosan berdampak pada meningkatnya angka korban jiwa petugas KPPS, karena pengaruh beban kerja yang tinggi. Pemilihan suara yang dilaksanakan secara serentak pula berpengaruh pada peningkatan angka suara tidak sah, pada 2019 sendiri akumulasi suara tidak sah meliputi; 2,4% atau setara 3.754.095 suara tidak sah untuk pilpres, 11,45% atau 16.267.725 suara yang tidak sah (Covarida, n.d.). Pada dasarnya peningkatan angka suara tidak sah ini dipengaruhi oleh faktor psikologis seperi kebingungan pemilihan dalam menentukan pihak pada lima suara sekaligus, terutama untuk orang-orang yang secara terbatas secara pendidikan.(Sirajudin, Febriansyah, and Rafiqi Dwi 2021) Pada pemilu tahun 2024 juga masih menganut sistem pemilu serentak, namun terdapat perbedaan rentang waktu antara pemilu dan pemilukada tetapi masih dilaksanakan pada tahun yang sama, pada pemilihan umum tahun 2024 Pilpres, Pileg DPR RI/DPD RI, DPRD Provinsi Kabupaten dan Kota dilaksanakan secara serentak, sedangkan Pemilukada dilaksanakan pada November 2024. Pelaksanaan pemilu 2024 pula mendapatkan banyaknya permasalahan salah satunya peningkatan angka suara tidak sah, terutama banyaknya pemilih pemula, salah satunya dipengaruhi oleh faktor literasi politik yang rendah pada pemilu muda atau lebih dikenal dengan Gen-Z , kemudian faktor aksesibilitas terhadap tempat pemungutan suara juga menjadi faktor yang mempengaruhi peningkatan suara tidak sah atau golput. Pada pilpres 2024 sendiri terjadi peningkata suara golput hingga mencapai 18, 22% atau hanya terdapat 164,3 juta suara sah dari total 204, 4 juta pemilih terdaftar (Rimadi 2024). Tingginya peningkatan suara tidak sah dari tahun ke tahun berdampak pada legitimasi yang sah pada penyelenggara pemilu, juga berdampak pada kehidupan demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Seperti baru-baru ini kehidupan demokrasi di Indonesia mendapatkan guncangan tepat setelah peringatan HUT kemerdekaan yang ke 80, hal ini dipengaruhi oleh faktor degradasi etik penyelenggara negara yang terpilih, sehingga efektivitas penyelenggaraan demokrasi juga turut mengalami degradasi, karena penyelenggara negara yang terpilih justru merupakan pemimpin yang demagog. Pemimpin demagog tidak akan muncul begitu saja jika kualitas pelaksanaan partisipasi dalam demokrasi dan kehati-hatian dalam penyeleksian calon pemimpin benar-benar dijalankan dengan sangat baik, namun karena adanya degradasi partisipasi demokrasi langsung menjadi alasan kemunculan para demagog itu. Sehingga suatu hal yang tepat putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan antara pemisahan pemilu nasional dan lokal yang pada dasarnya juga ditujukan sebagai upaya menciptakan susunan ketatanegaraan yang dipimpin oleh kandidat-kandidat yang memiliki kredibilitas baik dari segi etik maupun pendidikan, bukan saja faktor elektabilitas, serta upaya dalam menciptakan legitimasi pemerintahan yang sah. Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Prewakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelah dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak penatikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Prewakilan Daerah, atau Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional." Adanya rentang waktu 2 tahun hingga paling lambat 2 tahun 6 bulan untuk pemilu 2029 diperlukan adanya skema transisi bagi pejabat dan penyelenggara daerah yang telah menyelesaikan masa jabatannya selama 5 tahun melalui skema PJ untuk eksekutif daerah, sedangkan untuk DPRD diperlukan adanya skema pemilu transisi untuk mengisi kekosongan jabatan dalam jangka waktu 2 tahun. Adanya putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan lokal pada dasarnya perlu diatur kembali secara komprehensif melalui perubahan UU Pemilu terutama pengaturan skema pergantian setelah masa jabatan (Wahyuni 2025). Adanya pemisahan pemilu nasional dan lokal hendaknya menjadi bahan refleksi untuk meningkatkan kualitas bukan hanya memisahkan rentang waktu, karena pimimpin yang menjalankan kekuasaan adalah representasi dari kualitas konstituennya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun