Benci dan dendam tidak tumbuh begitu saja dalam diri ini. Perasaan itu telah berakar bahkan sebelum aku dilahirkan. Sungguh ironis melihat kaum akademisi datang ke desa ini, mengagung-agungkan keaslian dan tradisi yang tak lain adalah belenggu. Para tetua desa pun berseri-seri, seolah diangkat tinggi oleh pujian itu. Sejak kapan keterbelakangan disebut keaslian? Kau bisa mengatakan itu pada pohon-pohon di hutan, tapi tidak kepada kami, manusia yang terjebak di dalamnya.
Ibuku, perempuan malang yang terperangkap dalam ikatan adat, dahulu hidupnya tenang di kota. Kakek menjodohkannya dengan ayah, putra seorang raja tanah di desa, berharap kehidupan anaknya lebih baik. Padahal, dengan kecantikannya ibu ku telah  berhasil memikat hati seorang abdi negara di kota. Sayangnya, karena ibu hanya seorang gadis miskin dengan pendidikan rendah, ia tak pernah mendapat restu dari keluarga kekasihnya. Maka, saat perjodohan tiba, ibu harus berpisah dari cinta pertamanya. Usianya baru 16 tahun, sedangkan lelaki yang dinikahinya 30 tahun.
Menjadi menantu keluarga terpandang tak membuat hidup ibu lebih baik. Ia bekerja tanpa upah, mengurus ladang, rumah, memasak untuk keluarga besar. Bahkan saat hamil, ia tetap mengerjakan segalanya tanpa keluh. Namun, gosip keji mulai menyebar---para iparnya menuding kehamilannya terlalu cepat, mengisyaratkan bahwa anak dalam kandungannya bukan darah suaminya.
Begitu keras perempuan ini berjuang menerima nasibnya, tapi tetap saja dia juga manusia yang ingin menyerah. Suatu malam, ibu tak lagi mampu menahan kepedihan. Ia menangis sejadi-jadinya, lalu pergi. Kembali ke rumah orang tuanya di kota. Namun, alih-alih mendapat perlindungan, nenek malah mencacinya, menekankan bahwa ia telah menjadi istri orang dan harus bersikap dewasa.
"Tidak boleh kau begini! Kau sudah menjadi istri orang! Bersikaplah dewasa! Apa kata orang nanti?"
Tak lama, keluarga suami mengutus kakak iparnya menjemput Ibu. Ibu berharap suaminya sendiri yang datang, tapi harapan itu sia-sia. Dalam tekanan dan keterpaksaan, ia kembali ke desa.
Suaminya, ayahku, seorang pria pasif yang hidup dalam bayang-bayang keluarganya. Ia tidak pernah benar-benar bekerja, hanya menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Di sisi lain, beban ibu semakin bertambah karena hanya mampu melahirkan anak-anak perempuan termasuk aku anak sulungnya. Saat anak keempat dan kelima lahir, ayah bahkan tak lagi menemani persalinan. Wajahnya selalu murung mendengar kabar bahwa anaknya kembali perempuan.
Aku juga ingat bagaimana perlakuan berbeda yang diberikan para bibi kepada kami. Mereka seolah tidak menganggap keberadaan kami. Berbeda dengan sepupuku yang lain. Dalam keluarga mereka terdapat keturunan laki-laki. Anak laki-laki dianggap sebagai kebanggaan dan pondasi keluarga. Dan keluarga yang tidak memilikinya tidak begitu dianggap. Benar-benar tidak dianggap hingga setiap kesalahan kecil yang kami buat akan dibesar-besarkan. Mereka bahkan tidak akan segan mengusir kami terutama ibu ku.
"Pulang kau ke rumah bapak mu yang miskin itu" Â
Ayah juga tidak lebih baik. Setiap kali ibu tidak menyambutnya pulang, ia akan memaki dan mengusirnya. Padahal dia sendiri tidak bekerja dan hanya mabuk-mabukan. Ia tak peduli, bahkan ketika tidak punya uang sepeser pun, ia akan mengambil tabunganku untuk dipakai berjudi atau mabuk-mabukan. Namun, di desa yang dipenuhi pemikiran konservatifi ini, masih ada agama yang memperkenalkan kami pada harapan. Aku dan ibu menggenggamnya erat, menjadikannya pelita dalam gelap.
Dan akhirnya matahari bersemi dalam hidup kami. Seorang anak laki-laki lahir. Aku yang dulu membenci laki-laki karena perlakuan berbeda yang kuterima, justru diliputi sukacita. Dengan semangat, aku berlari ke kedai tempat ayah biasa berkumpul.
"Ayah, adikku laki-laki!" seruku gembira.
Seketika, keluarga kami berubah. Ayah mendadak penuh percaya diri. Ia bekerja keras, lebih giat dari yang pernah kubayangkan. Dulu, aku tak pernah tahu ia mampu bekerja. Sekarang, dia menunjukkan kemampaun yang sebenarnya. Dia benar-benar berubah. Â Ayah juga telah mendapat ijin dari semua pihak keluarga untuk membangun rumah sendiri di lahan keluarga. Rumah kami bahkan lebih bagus dari semua rumah di desa, kata orang-orang di desa seperti rumah yang ada di kota-kota. Kami tak lagi bergantung pada belas kasihan keluarga besar ayah. Ibu kini bebas dari hinaan ipar dan mertua. Ayah yang dulu pasif kini berdiri di sisi kami, melindungi ibu dari caci maki mereka.