Oleh: Mardiah Tillah
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Di tengah arus globalisasi dan percepatan teknologi digital, merek dagang bukan lagi sekadar tanda atau simbol yang menempel pada suatu produk. Ia telah menjelma menjadi sebuah identitas, bahkan aset yang nilainya bisa melampaui bentuk fisik dari barang atau jasa yang diwakilinya. Dalam praktik perdagangan modern, merek dagang mampu menentukan arah keberlangsungan sebuah bisnis, citra perusahaan, hingga kepercayaan konsumen. Namun, sayangnya kesadaran tentang pentingnya merek dagang di Indonesia masih belum merata, baik di kalangan pelaku usaha kecil maupun sebagian masyarakat luas.
*Merek Dagang sebagai Identitas dan Citra
Ketika mendengar kata Nike, Apple, atau Samsung, sebagian besar dari kita langsung membayangkan kualitas, prestise, dan nilai tertentu yang melekat pada produk mereka. Padahal, barang yang mereka tawarkan bisa jadi tidak jauh berbeda dengan pesaingnya. Apa yang membuat orang rela membayar lebih untuk sebuah logo di sepatu atau gambar apel tergigit di belakang ponsel? Jawabannya jelas: kekuatan merek dagang.
Merek dagang adalah identitas yang membedakan produk atau jasa dari pesaingnya. Identitas ini bukan hanya visual, seperti logo atau nama, melainkan juga representasi kualitas, reputasi, dan bahkan gaya hidup. Ketika konsumen memilih sebuah merek, sering kali yang mereka beli bukan hanya produknya, melainkan cerita di baliknya: inovasi, konsistensi, hingga janji kualitas yang terus dijaga.
Di Indonesia, kita bisa melihat bagaimana merek lokal seperti Indomie menjadi simbol kebanggaan nasional. Meski banyak produk mi instan di pasaran, sebutan "Indomie" bahkan sering dipakai sebagai istilah umum untuk mi instan. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya identitas yang dibangun sebuah merek dagang hingga mampu menembus ruang budaya dan bahasa.
*Perlindungan Hukum dan Tantangan di Lapangan
Di balik citra dan nilai ekonomi yang besar, merek dagang tidak lepas dari aspek hukum. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis telah memberikan dasar hukum yang kuat bagi perlindungan merek di Indonesia. Pendaftaran merek memberikan hak eksklusif bagi pemiliknya, sekaligus perlindungan dari praktik pembajakan atau peniruan.
Namun, realitas di lapangan masih menunjukkan banyak celah. Tidak jarang kita menemukan kasus perebutan merek dagang yang berujung sengketa panjang. Beberapa merek lokal Indonesia bahkan kalah cepat didaftarkan oleh pihak asing, sehingga pemilik asli justru kehilangan hak atas identitas yang mereka ciptakan. Kasus seperti merek kopi Kopi Luwak yang pernah diperebutkan di luar negeri, atau merek-merek batik yang diklaim pihak asing, menjadi pelajaran pahit betapa pentingnya kesadaran pendaftaran merek sejak awal.
Tantangan lain datang dari pelaku UMKM. Banyak pelaku usaha kecil menengah yang masih menganggap merek dagang tidak penting, atau bahkan sekadar beban administratif dan biaya tambahan. Padahal, tanpa merek yang jelas dan terlindungi, usaha mereka rentan ditiru dan sulit berkembang ke pasar lebih luas.
Perlindungan merek sejatinya bukan hanya kepentingan individu atau perusahaan, tetapi juga menyangkut kepentingan konsumen. Dengan adanya kepastian hukum, konsumen dapat terhindar dari produk tiruan atau pemalsuan yang berpotensi menurunkan standar kualitas dan bahkan membahayakan keselamatan.
Sudah saatnya pelaku usaha memandang merek sebagai investasi jangka panjang, bukan sekadar formalitas. Pendaftaran merek bukan hanya untuk melindungi hak hukum, tetapi juga untuk membangun daya saing yang berkelanjutan. Pemerintah pun diharapkan terus memperkuat sistem dan edukasi publik mengenai pentingnya merek dagang, agar tercipta iklim usaha yang sehat, adil, dan terlindungi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI