Â
Oleh: Maria Immaculata Rizka Sari
Â
      Yogyakarta atau Jogja selama ini hidup dalam citra yang terus direproduksi: kota pelajar, kota budaya, kota kenangan. Bagi banyak orang, Jogja adalah tempat di mana kehangatan bersanding dengan tradisi, tempat segala yang lokal menjadi memesona, dan tempat yang menawarkan pelarian dari riuh kota besar ke suasana yang lebih santai, ramah, dan berjiwa. Citra ini diperkuat oleh berbagai elemen sumbu filosofis yang menghubungkan Gunung Merapi, Keraton, dan Laut Selatan; Malioboro dengan segala keramaiannya; serta narasi historis yang menjadikan Jogja simbol perjuangan bangsa. Namun di balik semua romantisme itu, tersimpan wajah Jogja yang lain, wajah yang tidak tergambar di brosur wisata dan tidak tergali dalam wacana pembangunan resmi. Wajah itu adalah luka sosial yang kian menganga akibat proyek-proyek investasi, alih fungsi lahan, gentrifikasi, dan kemiskinan struktural yang tidak kunjung tertanggulangi. Ketika pembangunan difokuskan pada pertumbuhan ekonomi dan daya tarik visual, maka keadilan sosial kerap kali menjadi korban yang pertama dan paling sunyi.
       Salah satu paradoks terbesar Yogyakarta hari ini terletak pada kontras antara popularitasnya sebagai destinasi wisata dan kenyataan bahwa provinsi ini memiliki upah minimum terendah di Indonesia. Ini bukan data baru, tetapi realitas yang terus dipertahankan oleh struktur sosial dan ekonomi yang tidak berpihak kepada pekerja. Sementara sektor pariwisata mendatangkan triliunan rupiah per tahun dan menjadikan Jogja salah satu tujuan utama kunjungan domestik, para pekerja di sektor ini seringkali terjebak dalam pekerjaan informal, tanpa jaminan, dan upah yang tidak mencukupi kebutuhan hidup layak. Lebih ironis lagi, banyak warga lokal yang terpaksa pindah dari pusat kota karena harga tanah dan biaya sewa yang melonjak akibat komersialisasi ruang kota. Mereka yang dahulu hidup di kawasan strategis kini tersingkir ke pinggiran, digantikan oleh apartemen mewah, hotel kapsul, dan caf estetik yang melayani selera para pelancong dan investor. Dalam narasi pembangunan yang didorong oleh kapital, nilai ruang tidak lagi ditentukan oleh nilai sosialnya bagi masyarakat, melainkan oleh potensi profit yang bisa diekstrak darinya.
       Di Kulon Progo, pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) menjadi salah satu simbol pembangunan yang menyisakan luka. Lahan-lahan pertanian produktif yang dikelola oleh petani kecil selama puluhan tahun digusur untuk pembangunan bandara dan infrastruktur pendukungnya. Meskipun pembangunan itu diklaim membawa kemajuan dan lapangan kerja, banyak warga yang kehilangan tanah, mata pencaharian, dan ikatan sosial yang telah terbangun lama. Penolakan warga yang tergabung dalam PWPP-KP (Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo) tidak mendapatkan ruang yang setara dalam diskusi publik. Mereka dilabeli anti-pembangunan, dianggap menghambat kemajuan, dan bahkan mendapat tekanan dalam berbagai bentuk. Ini menunjukkan bagaimana pembangunan di Jogja hari ini sering kali tidak demokratis, dan mengabaikan prinsip partisipasi warga yang sesungguhnya menjadi inti dari semangat reformasi.
       Tak hanya di pinggiran, pusat kota pun mengalami tekanan hebat. Malioboro, kawasan ikonik Jogja, kini berubah wajah dengan cepat. Penataan ruang yang berorientasi wisata sering kali menyingkirkan pedagang kaki lima yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kawasan tersebut. Dalam nama "penataan", pemerintah merelokasi pedagang ke gedung-gedung semi permanen yang tidak memiliki daya tarik yang sama. Ruang-ruang berekspresi budaya dikurangi, aktivitas rakyat dipinggirkan demi menciptakan citra kota yang bersih, rapi, dan terstandarisasi. Kota yang dahulu hidup dari keragaman warganya, kini mulai terasa asing. Jogja, dalam proses menjadi "produk wisata", perlahan kehilangan sisi manusianya.
       Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana simbol-simbol budaya dan warisan lokal dijadikan pembenaran bagi pembangunan yang eksklusi. Sumbu filosofis yang selama ini dimaknai sebagai jalur kosmologis antara Merapi--Keraton--Parangtritis kini dimasukkan dalam dokumen perencanaan ruang sebagai bagian dari tata kota modern. Namun, dalam praktiknya, nilai-nilai harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas yang terkandung dalam sumbu tersebut nyaris tidak menjadi dasar dalam pengambilan keputusan pembangunan. Sumbu dijadikan pembungkus estetika, bukan etika. Pembangunan yang mengacu padanya tidak serta-merta mempertimbangkan dampak ekologis, sosial, dan budaya. Justru dalam banyak kasus, masyarakat adat, komunitas lokal, dan pelaku budaya tradisional tidak dilibatkan secara penuh dalam proses perumusan kebijakan.
       Otonomi khusus yang dimiliki DIY semestinya menjadi peluang untuk menerapkan model pembangunan yang lebih kontekstual dan berkeadilan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Keistimewaan lebih sering diartikan secara simbolik dan administratif, bukan substansial. Kebijakan tata ruang dan pembangunan ekonomi masih sangat ditentukan oleh pola pikir nasional yang bertumpu pada investasi, bukan keberlanjutan hidup masyarakat. Ini menyebabkan lahirnya kebijakan-kebijakan yang elitis, top-down, dan berisiko menciptakan ketimpangan yang lebih dalam.
       Pertanyaan besar yang harus kita ajukan kini adalah: untuk siapa Jogja dibangun? Apakah untuk masyarakat yang telah hidup turun-temurun di sana, atau untuk wisatawan dan pemilik modal yang melihat Jogja hanya sebagai "destinasi menarik"? Apakah ruang-ruang kota akan tetap dimiliki oleh warganya, atau akan menjadi sekadar etalase untuk selfie dan branding digital? Jogja memang memesona, tetapi jika pesona itu dibangun di atas penggusuran, ketimpangan, dan hilangnya ruang rakyat, maka ia bukan lagi kota budaya, melainkan kota komoditas.
      Jika pemerintah daerah sungguh ingin mempertahankan keistimewaan Jogja, maka langkah yang harus diambil bukan hanya memoles wajah kota, tetapi juga merawat tubuh sosialnya. Itu berarti memberi ruang partisipasi bermakna bagi masyarakat dalam perumusan kebijakan, menjamin hak atas tanah dan ruang hidup, serta mengembangkan ekonomi yang tidak hanya berorientasi profit, tetapi juga kesejahteraan. Jogja bisa tetap cantik tanpa harus menindas. Jogja bisa tetap menjadi destinasi tanpa menjadi eksploitatif. Dan yang terpenting, Jogja bisa tetap Istimewa, jika dan hanya jika, keistimewaan itu berpihak pada rakyatnya.Â