Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Disenggol Bus Damri

2 September 2012   13:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:00 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_210059" align="aligncenter" width="530" caption="bus Damri yang menyenggol saya (dok. Maria Hardayanto)"][/caption]

“Hati hati dijalan, jangan lupa berdoa” demikian pesan yang diberikan pada siapapun yang berpergian. Berdoa selalu saya lakukan. Tapi hati hati dijalan? Sangat tergantung kondisi dan situasi. Sabtu, 1 September 2012, jam 14.30 saya menyeberangi jalan Oto Iskandar Dinata menuju jalan Pungkur, Bandung. Terletak di pusat kota dimana terminal Kebon Kelapa berada, jalan Pungkur menjadi tempat favorit berdagang para pedagang kaki lima (PKL). Mulai makanan hingga beragam reparasi. Kekacauan bertambah karena badan jalan berubah menjadi area parkir kendaraan roda dua/empat. Ah,lengkaplah nasib naas saya sebagai pejalan kaki.

Sesampainya di jalan Pungkur,  tiba tiba : duenngggg…………………sebuah bus Damri menyenggol dengan pantatnya. Lebih tepatnya nggak berbunyi duenggg sih, hanya ingin memberi  efek dramatis ^_^.

Yang pasti saya jatuh. Beberapa pejalan kaki dan pedagang berlarian untuk menolong. Saya tolak karena menurut pengalaman apabila jatuh sebaiknya bangun sendiri. Pertolongan orang lain malah membuat anggota badan yang tidak berhubungan dengan posisi jatuh, malah menjadi sakit.

Parahkah? Tidak,  hanya lecet di siku, pergelangan tangan dan lutut.

Ingat pengalaman tidak menyenangkan dengan bus yang membuat saya pusing dan lupa memotret,  kali ini saya tidak ingin kehilangan moment itu. Lucunya beberapa sepeda motor yang kebetulan melaju di belakang bus bersegera memberi  ruang sehingga saya  leluasa memotret bagian belakang bus yang sudah “mencium” saya dari arah belakang.

[caption id="attachment_210056" align="aligncenter" width="415" caption="cukup jelas kan? (dok. Maria Hardayanto)"]

13465871151090336273
13465871151090336273
[/caption]

Selesai memotret, saya meneruskan perjalanan ke Kebon Kelapa. Agak terhuyung-huyung. Maklum siang hari panas terik, usia sudah tua, disenggol bus hingga jatuh, lutut dan siku yang terkena aspal mulai terasa ngilu …………bukanlah perpaduan yang bagus. Tetapi rupanya supir bus dan kondekturnya bingung melihat saya. Mungkin mereka tidak menyangka ada orang tertabrak kok malah sigap memotret. Mungkin mereka menyangka saya akan akan marah-marah, tidak sekedar memotret dan diam saja. Atau mungkin juga supir dan awaknya takut dampak difotonya bus mereka?

Sekitar 20 meter dari tempat kejadian perkara (TKP), supir memberhentikan busnya. Tidak mempedulikan bahwa tindakannya bisa menyebabkan lalu lintas macet. Eh kejadian langka nih. Maka sayapun memotret lagi, ini dia:

[caption id="attachment_210061" align="aligncenter" width="503" caption="pak sopir turun ..... (dok. Maria Hardayanto)"]

13465880071787447440
13465880071787447440
[/caption]

Jujur saya kasihan melihat raut wajahnya,  sayangnyaaaaaaa………:

“Bu, ibu yang jatuh tadi?”

Saya tidak menjawab, hanya mengulurkan tangan yang mengeluarkan darah.

“Oh, ibu berdarah? Di bus ada kotak P3K, diobati dulu ya?”

Ya ampun pak, saya juga mempunyai kotak P3K di rumah …………yang tak saya miliki adalah permohonan maaf. Apa sih susahnya minta maaf? Wong saya juga nggak akan melaporkan anda. Untuk apa? Hanya menghabiskan waktu dan energy.

Tanpa mempedulikan pak supir, sayapun meneruskan perjalanan. Rasanya mual dan eneg membayangkan apa yang terjadi dengan korban tabrakan  lainnya. Kecil kemungkinan untuk refleks memotret peristiwa. Sehingga apa yang  kemudian terjadi bisa beragam: Nrimo begitu saja diobati atau melaporkan pak supir melalui surat pembaca.

Karena tidak digubris, pak supir kembali ke bus dan mengikuti saya berjalan hingga kurang lebih 100 meter ketika busnya harus berbelok sedangkan saya menemukan angkutan umum menuju arah pulang rumah.

[caption id="attachment_210065" align="aligncenter" width="300" caption="tanda bukti ^^.........(dok. Maria Hardayanto)"]

13465888431125587645
13465888431125587645
[/caption]

Kejadian ini mengingatkan saya kejadian 5 tahun lalu. Tergesa-gesa hendak menjemput si bungsu Mabelle sekaligus harus mengambil pesanan di jalan Suci Bandung, saya meminta supir untuk parkir di kiri jalan di samping Pusdai (Pusat Dakwah Islam) Bandung. Selain mempermudah, badan jalan di samping trotoar  toko yang saya tuju sudah dipenuhi sepeda motor yang parkir.

Sebelum menyeberang, lihat kanan ………ok ada angkutan umum sedang melaju, saya melambaikan tangan tanda hendak menyeberang. Kemudian lihat kiri ………eh ada angkutan umum juga, maka sayapun melambaikan tangan tanda menyeberang. Lihat kanan lagi ………aman, lihat kiri …………braaaaaakkkkkkkk sebuah sepeda motor dengan garangnya menabrak saya. Rupanya dia menyalip angkutan umum (yang sudah melihat saya menyeberang) dari arah sebelah kiri sehingga tidak terlihat.

Benturan yang cukup keras mengakibatkan saya jatuh, berdarah dan rok saya sobek. Eh si pengemudi tetap melajukan sepeda motornya bak diarena balap meninggalkan saya yang terjatuh dan dibantu supir yang berlari serta beberapa pemilik/penjaga toko di jalan Suci yang juga refleks berlari melihat saya jatuh. “Ini mungkin yang namanya tabrak lari”gumam saya sambil merasakan pening di kepala.

Tapi rupanya pengemudi motor berbaik hati. Dia berbalik dan penumpangnya berlari-lari mendatangi saya. Tahukah apa yang dia lakukan? Mengembalikan highheels saya!

Semula sayapun tak sadar bahwa sebelah highheels terbawa pengemudi/penumpang sepeda motor yang dikendarai secepat “angin puting beliung”. Tanpa ucapan maaf apalagi menanyakan “mana yang sakit?”,  sesudah mengembalikan highheels si penumpang langsung berbalik dan sepeda motorpun meraung kembali. Mungkin dia sedang ber fantasi berperan sebagai Valentino Rossi yang harus memperbaiki performanya di MotoGP.

Marah? Kala itu ya, rasanya nyesek sekali. Mungkin lebih tepatnya sedih. Bukan masalah baju robek atau lutut berdarah, tapi: apa susahnya sih mengucapkan kata maaf? Sudah begitu rapuhkah fondasi bermasyarakat di Indonesia hingga kata maaf menjadi mahal diucapkan? Bagaimana apabila yang ditabrak adalah istri mereka atau ibu mereka? Maukah mereka mendapat kenyataan anggota keluarganya ditabrak untuk kemudian ditinggal pergi?

Peristiwa saya jatuh karena disenggol bus dan ditabrak sepeda motor nampaknya berbeda tetapi memiliki benang merah sama. Rendahnya law enforcement pemerintah mengakibatkan semua warganegara merasa berhak atas badan jalan dan trotoar yang terasa semakin sempit walau pelebaran jalan kerap dilakukan.

Semua warganegara merasa berhak berdagang dimanapun, toh sudah bayar “uang siluman”. Semua warganegara merasa berhak mengendarai sepeda motor walaupun tidak memahami rambu lalu lintas. Diperparah dengan gerakan penghijauan salah kaprah di area trotoar maka semakin malanglah nasib pedestrian. Bingung mencari celah untuk meletakkan kaki maka bersiaplah kami disenggol kendaraan roda empat/roda dua dan bus. Paling juga dapat omelan: “Makanya kalo jalan pake mata!”. Lah? Nggak salah?

**Maria Hardayanto**

[caption id="attachment_210068" align="aligncenter" width="439" caption="penghijauan salah kaprah (dok. Maria Hardayanto)"]

13465925081198768626
13465925081198768626
[/caption]

[caption id="attachment_210069" align="aligncenter" width="438" caption="Semua berhak: PKL, sepeda motor, pedestrian (dok. Maria Hardayanto)"]

13465926301033549467
13465926301033549467
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun