Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rahmat Jabaril, Mengubah Kampung Kumuh Menjadi Kawasan Wisata

14 Oktober 2017   03:01 Diperbarui: 15 Oktober 2017   09:21 7082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Youtube.com/TEDxTalks

Adakah manfaat kedatangan pengunjung bagi penghuni Jodipan Malang? Berkelanjutankah? Hal-hal ini seharusnya dijawab oleh penggagas kawasan tersebut. Jangan sampai penghuni kawasan hanya menonton tingkah laku pengunjung yang berswafoto. Mereka harus terlibat karena merekalah pemilik hunian yang dicat tersebut.

Apa jadinya jika kelak ada banyak kawasan yang dicat warna-warni seperti itu juga? Tentunya wisatawan akan meninggalkan yang lama, berburu lokasi baru. Beda halnya jika sejak awal penghuni diajak berkreasi memunculkan potensinya. Mereka akan mampu membuat kawasannya tetap hidup dan berkembang.

Selain itu kawasan yang diperindah dengan cara demikian membutuhkan dana lumayan banyak . Jika tak salah milyaran rupiah hanya untuk suatu kawasan di Semarang (sumber). Wah dengan uang sejumlah itu bisa membiayai puluhan lokasi, karena warga nggak hanya mengecat tapi juga menelurkan ide-idenya. Untuk hasil karya yang ekspresif seperti ini biasanya pelaku lukisan mural mau mengeluarkan uang dari kocek pribadi.

Bagaimana dengan kawasan Kali Code Jogjakarta?

Mungkin karena waktu itu media sosial belum seheboh sekarang, ya?  Kebetulan saya juga tidak tahu apakah Romo Mangun mengajak warga Kali Code untuk mengeksplorasi ide dan kreativitasnya. Seperti yang telah saya katakan, setiap pribadi unik, setiap lokasi memiliki arsitektur yang khas.  Nah yang namanya kali/sungai tentunya punya ciri khas, entah batu-batunya, tanamannya, bangunan rumahnya.

Setiap kampung memiliki gestur dan ruang peradaban yang berbeda. Setelah para penghuni memahami, mempunyai rasa memiliki, akan tumbuh kegiatan kreatif  dan akhirnya kawasan tersebut menjadi kawasan wisata berkelanjutan yang meningkatkan kesejahteraan penghuninya.

Bicara peningkatan kesejahteraan di kawasan Dago Pojok, bagaimana mengukurnya?

Semua pusat pelatihan berawal dari ketiadaan, Pak Nanang misalnya. Walaupun memiliki keahlian membuat wayang  golek, dia terpaksa berjualan gorengan dan istrinya berjualan di pasar. Setiap harinya hanya mampu mengantongi keuntungan bersih Rp 100 ribu per hari atau sekitar Rp 3 juta per bulan.

Dengan adanya kampung kreatif dan banyak pengunjung yang ingin belajar membuat wayang, dia berpenghasilan sekitar Rp 2 juta per pelatihan. Hitung saja jika seminggu ada 2 kali pelatihan, berapa juta rupiah yang diterima pak Nanang setiap bulannya. Padahal setiap peserta hanya membayar Rp 50.000/orang, lho.

Tidak hanya pemilik sanggar, pemilik warung yang baru buka maupun pemilik lama juga kebanjiran rupiah. Contohnya Ibu Yuyun. Sebelum ada kampung kreatif, dia menjadi buruh masak. Pagi hari harus berangkat, malam baru pulang. Sekarang, dia memiliki warung makan sendiri. Sangat ramai, karena pembelinya tidak hanya tetangga, tapi juga tamu.

Bagaimana dengan Kang Rahmat sendiri? Penghasilannya juga bertambah dong?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun