Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jangan Serahkan Remote Control pada Orang Lain Bila Ingin Bahagia

26 Februari 2024   06:30 Diperbarui: 26 Februari 2024   06:41 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: swiss-belhotel.com

Hidup ini adalah mimpi, sesaat ada di lain saat hilang dari tangan kita. Tiada satu pun yang kita miliki. Ya, bagaikan mimpi. Pemilu telah berakhir, bukan kah yang disebut pemilihan umum juga mimpi? Namun demikian sebagain orang malahan menganggap begitu serius. Seakan bila pilihannya menang, ia akan mendapatkan jabatan tertentu. 

Banyak sudah kita mendengar berita antara anak dan ayah beda pilihan, pilihan ayahnya kalah, reaksinya sangat keras. Ia mengeluarkan anaknya dari datar kartu keluarga atau KK. Sang ayah lupa bahwa ia terlalu serius bermain, tanpa sadar ia menjadi korban permainan. 

Perhatikan saja, siapa pun pemenangnya, si ayah tetap dengan pekerjaannya. Namun kerugiannya begitu nyata. Inilah salah satu contoh bahwa kita telah menyerahkan kendali kontrol diri kepada orang lain. Ia tidak mampu menata pikiran secara jernih. Ia begitu terpengaruh dalam pergaulannya. 

Mungkin ia bangga bahwa ia memiliki idealisme atau fanatisme, tetapi sesungguhnya ia hanyalah budak lingkungan. Inilah gunanya penggunaan Neocortex, kemampuan memilah dan memilih secara tepat. Emosi bukanlah bagian dari neocortex, tetapi bagian otak mamalia.

Contoh lain adalah bila kita ingin menikahkan anak. Inilah pengalaman saya:

'Pengalaman saat saya mengawinkan anak saya. Anak saya seorang perempuan. Sudah menjadi kebiasaan atau tradisi jika anaknya perempuan, maka harus menjadi tempat untuk pernikahan dengan segala pestanya. Tahu sendiri bahwa pesta pernikahan tidak murah. Akhirnya saya berunding dengan istri dan anak. Mau diramaikan atau sederhana saja. Kalau diramaikan biaya tidak punya dan mesti cari pinjaman. Akhirnya sepakat, tidak usah diramaikan tapi biaya yang sedianya digunakan untuk pesta pernikahan tetap diberikan untuk tambahan uang muka beli rumah. Gengsi??? Bukan urusan bagi saya, biarkan saja orang lain omong tentang saya, punya anak perempuan koq tidak dibuatkan pesta pernikahan yang meriah.'

Memahami dan menyadari kemampuan diri adalah bagian mawas diri. Jika memang tidak mampu, mengapa mesti mengikuti kata lingkungan atau keluarga? Mereka tidak merasakan repotnya serta biaya yang harus dikeluarkan. 

Betapa banyak tenaga dan biaya yang harus dibelanjakan, sedangkan kemampuan tidak ada. Bila kita meminjam, japat dipastikan mereka hanya tertawa ketika dikejar kewajiban membayar hutang.

Banyak orang demi gengsi mengikuti perkataan orang harus menikahkan anak secara meriah. Untuk apa malu. Bukankah saya menikahkan anak saya sendiri, tiada sedikitpun mereka rugi jika saya mengawinkan secara sederhana. 

Cukup ijab kabul dan makan bersama saudara-saudara. Yang penting sah nya. Saya tidak mau menyerahkan remote control gengsi kepada orang lain. Apalagi zaman NOW. Bisa kita buat photo kenangan pernikahan dengan rekayasa photo; banyak aplikasinya tidak perlu bayar. Bukan kah sama-sama hanya untuk pameran?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun