"Selama pena masih bisa menulis dan doa masih bisa diucapkan, saya tak akan berhenti berjuang."
--- Harun Al Rasyid, Sabak Permai
Â
Dari sebuah rumah bata yang belum diplester di tepi kebun sawit, cahaya itu memancar pelan---bukan dari lampu, tapi dari pena, doa, dan keteguhan hati seorang ayah dan anak.
Dari ruang sederhana di Desa Sabak Permai, Riau, lahir cerita tentang keberanian bermimpi, tentang seorang Harun al Rasyid yang menulis langkahnya menuju panggung nasional.
Â
Rumah yang Menyala oleh Literasi
Ada sebuah rumah sederhana di tepi jalan tanah Desa Sabak Permai, Kecamatan Sabak Auh, Kabupaten Siak, Riau.
Rumah itu berdiri tenang, sebagian dindingnya masih berlubang karena belum diplester. Namun, di dalamnya, cahaya selalu menyala---bukan dari listrik yang temaram, melainkan dari semangat sebuah keluarga yang percaya bahwa ilmu bisa tumbuh di mana saja.
Setiap sore, saat azan Magrib menggema dari surau kecil di ujung jalan, rumah itu tak pernah sepi. Seusai salat berjemaah, ruangnya dipenuhi tawa, bacaan puisi, dentingan pena, dan suara anak-anak yang menulis mimpi dengan cinta.
Rumah itu milik Amriadi, seorang lelaki kelahiran Padang yang menempuh perjalanan panjang untuk tiba di sini. Berawal dari guru SMP di Siak, kemudian dipindahkan ke bagian Tata Usaha karena tidak mempunyai ijazah sarjana.
"Saya sempat sedih," ujarnya lirih.
"Tapi, saya sadar bahwa mendidik tidak hanya bisa dilakukan di sekolah. Saya masih bisa mendidik---melalui rumah, lingkungan, dan anak-anak saya."