Ketika semua argumentasi mengatasnamakan kebenaran untuk memajukan, ketika semua wacana dan konsep yang ditawarkan untuk perbaikan-pengevaluasian untuk lebih baik, ketika narasi yang dibangun atas nama kepentingan RAKYAT.
Ketika semua opini menyatakan "menyuarakan dan mewakili suara RAKYAT"; demikianlah persepsi yang terbangun dan dibangun di ruang publik yang menjadi konsumsi masyarakat luas kini.
Setiap dari mereka mengklaim pada sumber yang sama juga utama dengan berpijak dan berdiri pada kepedulian dan perjuangan untuk yang dinama 'RAKYAT' itu.
Tetapi tidak bisa ditampikkan arena di ruang publik bergema kegaduhan saling bertentang satu dengan yang lain.
Ketika mencoba "memilah gandum diantara ilalang" tersebut, memikirkan kehirukpikukan tersebut merupakan bagian dari proses pendewasaan berdemokrasi sebagai negara berkembang, yang melaluinya mengikutsertakan semua untuk menata bersama dan mengajak RAKYAT untuk mengawal pemerintahan. Hingga yang utama RAKYAT tercerdaskan dan diajak betanggungjawab dalam kewargaannya serta membangun suatu sistem yang holistik, tidak mengedepankan ego sektoral.
Atau sebaliknya, kita berasumsi kegaduhan itu menggambarkan wajah kekuasaan itu sendiri, dalam konsep 'Homo Homini Lupus': kekuasaan yang saling memangsa sesamanya, pemegang kekuasaan yang satu ingin memangsa kekuasaan lainnya. Sehingga yang dinama RAKYAT (itu) bukan menjadi tujuan, lebih lagi sebagai alat yang dilacurkan.
Jika demikian, di akhir mari melihat, berkaca pada politik ala Machiavelli (1469-1527) yang disebut machiavellian dengan pemikiran serba prakmatis, menghalalkan segala cara; seburuk-buruknya dalil itu bertujuan untuk rakyat Italia, segala cara dihalalkan untuk membangun kejayaan Italia.
Kini, kegaduhan tersebut bukan untuk yang dinama 'RAKYAT' tetapi kepentingan sendiri-golongan, demikiankah?
Benar atau tidak, Laskar Pejuang Kebenaran-Keadilan harus bangkit menunaikan tugas PANGGILAN -nya di zamannya, ketika mendengar bunyi sangkakala.Â