Dr. Mardianto Manan, MT
Kebakaran lahan dan hutan (karlahut) di Provinsi Riau kembali terjadi. Fenomena ini bukan hal baru. Dalam satu dekade terakhir, kejadian serupa terus berulang nyaris tanpa solusi tuntas. Asap mengepung wilayah, mengganggu kesehatan manusia, merusak ekosistem, dan mengancam kehidupan hewan seperti gajah, harimau, kancil, serta tumbuhan endemik yang semestinya dilindungi.
Karlahut adalah bencana ekologis sekaligus kegagalan tata kelola. Kita perlu keberanian moral dan politik untuk menindak siapa pun yang bersalah, tanpa pandang bulu. Jika perusahaan terbukti lalai atau bahkan sengaja membakar, mereka harus dihukum seberat-beratnya. Hanya dengan ketegasan seperti itu, Riau bisa keluar dari siklus tahunan asap dan kebakaran.
Sudah lebih dari satu dekade, Provinsi Riau nyaris tidak pernah absen dari musibah kebakaran hutan dan lahan (karlahut). Setiap tahun, asap menyelimuti udara, mencemari langit, mengganggu pernapasan, membahayakan kesehatan, dan merusak lingkungan.
Namun yang lebih membakar hati adalah rasa ketidakadilan dan frustrasi: mengapa persoalan ini terus berulang? Apakah negara kalah oleh korporasi?
Dalam adat kami orang Kuantan, ada pepatah tua yang berbunyi: "Kayu di hutan jangan dibakar, nanti hutan jadi musnah, hewan pun menghilang, air pun mengering."
Dahulu kala, hutan dijaga dengan kearifan. Tak ada kebakaran, tak ada asap. Tetapi kini, hutan dikuasai oleh segelintir perusahaan dengan izin ribuan hektare, namun tidak sanggup atau mungkin tidak peduli menjaga kelestariannya.
Warga kecil yang membuka lahan satu hektare langsung ditangkap. Tapi korporasi yang arealnya terbakar sampai ribuan hektare, malah bebas dari jerat hukum dengan alasan klasik: "tidak cukup bukti, tidak tahu siapa pelakunya." Inilah yang disebut hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.
Ini jelas bertentangan dengan rasa keadilan.
Kita butuh ketegasan, bukan basa-basi. Kita ingin hukum ditegakkan setegak-tegaknya. Jika perusahaan lalai atau terlibat pembakaran, beri hukuman tegas. Cabut izinnya, beri sanksi finansial, proses hukum secara terbuka. Jangan lindungi pelaku dengan kekuasaan atau jaringan bisnis. Ini bukan lagi soal pelanggaran administratif, tapi kejahatan lingkungan.
Saya percaya pada Kapolda Riau yang baru. Sosok yang dikenal mencintai alam dan satwa, termasuk gajah dan harimau Sumatera yang makin terancam akibat habitatnya terbakar. Kami titipkan harapan, agar keadilan benar-benar ditegakkan, bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk hutan, hewan, dan generasi masa depan. Apalagi berkembang isyu, adanya keinginan memberikan KTP kepada gajah Riau ini, hal ini mencerminkan kepedulian sang gubernur kepada satwa langkah yang kehilangan rumahnya sendiri di kampung sendiri (Kasus TNTN).
Dalam falsafah adat kami, dikenal istilah "Betobo di hulu, barundi di hilir". Artinya, kerja sama dan keadilan harus dimulai dari atas, agar sampai ke bawah. Jangan biarkan rakyat kecil terus menjadi kambing hitam, sementara pelaku besar leluasa merusak tanpa takut dihukum.