Mohon tunggu...
mardiana putri
mardiana putri Mohon Tunggu... mahasiswa

Saya, Mardiana Putri, adalah seorang mahasiswa yang aktif, disiplin, dan memiliki semangat tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan. Saat ini saya sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan fokus pada pengembangan kompetensi akademik dan soft skill. Saya percaya bahwa proses belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga melalui pengalaman nyata di lapangan. Oleh karena itu, saya senang mengambil peran dalam berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan kepemimpinan, tanggung jawab, dan kreativitas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Soekarno, Nasionalisme, dan Sekularisme : Refleksi atas Kompromi Sejarah

2 Juni 2025   14:45 Diperbarui: 2 Juni 2025   14:42 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Soekarno: Nasionalisme dan Sekularisme -- Refleksi atas Kompromi Sejarah"

Ketika Soekarno memberikan pidatonya pada 1 Juni 1945 dalam rapat BPUPKI, ia tidak hanya mengajukan lima dasar bagi negara. Dia sedang merintis sebuah landasan ideologis untuk bangsa yang sangat beragam. Nasionalisme, sekularisme, dan keragaman agama menjadi tiga aspek yang perlu dijembatani secara hati-hati. Hal ini menjadikan proses penciptaan Pancasila sebagai sebuah momen kompromi sejarah yang sangat berharga.

Nasionalisme menurut Soekarno bukan hanya sekadar cinta kepada tanah air, tetapi juga merupakan kekuatan politik yang menyatukan. Ia menolak bentuk nasionalisme yang eksklusif berdasarkan etnis atau agama, dan malah menekankan pentingnya inklusivitas dalam keragaman. Dalam hal ini, sekularisme muncul bukan untuk menolak agama, tetapi sebagai jaminan keadilan bagi semua pemeluk agama. Negara harus berdiri di atas semua golongan, dan bukan menjadi alat untuk satu kelompok mendominasi yang lain.

Kompromi ini sangat jelas terlihat dalam perubahan sila pertama dari Piagam Jakarta, yang awalnya berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Ini bukanlah upaya untuk menghapus nilai-nilai Islam, melainkan sebuah bentuk penghargaan terhadap keberagaman di Indonesia. Keputusan ini mungkin tidak memuaskan semua pihak, namun justru inilah esensi dari kehidupan berbangsa: saling memberikan ruang dan bersikap mengalah demi persatuan.

Saat ini, ketika politik identitas dan sektarianisme kembali menguat, penting bagi kita untuk merenungkan kembali keberanian intelektual dan kebesaran hati para pendiri bangsa. Kompromi sejarah tidak merupakan suatu kelemahan, melainkan sebuah kekuatan yang memungkinkan Indonesia tetap eksis sebagai negara-bangsa.

Pancasila bukanlah sebuah warisan yang mati. Ia adalah proyek kebangsaan yang terus membutuhkan pembaruan, pemahaman kembali, dan komitmen baru. Soekarno telah membangun sebuah jembatan antara nasionalisme, sekularisme, dan spiritualitas bangsa. Kini, tugas kita adalah menjaga agar jembatan tersebut tetap kokoh di tengah perubahan zaman yang terus berlangsung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun