Mohon tunggu...
Mardani
Mardani Mohon Tunggu... Jurnalis -

"Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kecerdasan dan Perjuangan Tan Malaka Meraih Pendidikan dari Hasil Utangan

3 Desember 2013   11:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:23 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di Belanda, Tan Malaka tak mau diremehkan oleh orang-orang yang menjajah bangsanya. Dalam setiap kesempatan, Tan Malaka kerap menunjukkan bahwa dirinya lebih baik daripada bangsa Belanda. Salah satunya adalah di bidang sepak bola. Dia selalu berada di garis depan sebagai penyerang saat tengah bermain. Namun sayang Tan Malaka tak pandai menjaga kesehatannya. Jika sudah asyik bermain bola, dia enggan menggunakan jaket tebal saat beristirahat dan kerap telat makan. Alhasil pada Juli 1915, Tan Malaka jatuh sakit dan divonis dokter sakit radang paru-paru.

Di Belanda, Tan Malaka beberapa kali pindah indekos demi mengirit Rp 50 yang dikirim orang kampungnya. Singkat cerita, Tan Malaka akhirnya lulus ujian akhir sekolah secara tertulis pada 1916. Namun, dia harus mengikuti satu studi lagi untuk mendapat akta guru kepala. Pemilik akta itu akan langsung diangkat resmi menjadi guru oleh pemerintah.

Namun kondisi kesehatan Tan Malaka saat itu kian memburuk. Dia pun disarankan dokter untuk pulang ke tanah air agar mendapat pengobatan secara intensif. Sebab, dengan Rp 50 sebulan yang digunakan untuk mencukupi semua keperluannya, Tan Malaka tidak dapat maksimal mengecek dan mengobati kesehatannya di Belanda.

Tan Malaka pun menolak saran dokter. Dia tak mau pulang tanpa hasil. Sebab, dia harus membayar utang-utang yang dimilikinya. Tan Malaka mencari tambahan penghasilan dengan mengajar kursus bahasa melayu kepada warga Belanda. Pada 28 Juni 1918, Tan Malaka mengikuti ujian tertulis untuk akta guru kepala dan mendapat hasil yang menggembirakan. Namun dia gagal mengikuti ujian lisan. Tan Malaka sedih atas kegagalannya itu.

"Pada 27 Juni 1919, ia kembali menempuh ujian tertulis. Di akhir Juli, ia mengikuti ujian lisan tetapi lagi-lagi ia tidak lulus."

Ada beberapa versi penyebab kegagalan Tan Malaka dalam ujian itu. Versi pertama, kegagalan itu disebabkan karena nilai pengetahuan alam, berhitung dan bahasa Tan Malaka kurang baik. Namun, versi kedua menyatakan kegagalan Tan Malaka dalam ujian itu bukan karena nilai yang kurang baik, melainkan akibat politik imperialisme Belanda saat itu.

Saat itu, pemerintah Belanda mengeluarkan aturan setiap tahun hanya satu calon saja dari daerah jajahan yang lulus akta kepala. Bayangkan saja begitu banyak orang yang bangsanya dijajah sekolah di Belanda tapi satu tahun hanya dijatah satu orang saja yang lulus.

Waktu terus berjalan, Tan Malaka yang awalnya ditargetkan oleh orang tua hanya dua hingga tiga tahun lulus sekolah di Belanda dan kembali ke tanah air nyatanya hingga 1919 belum juga kembali. Orangtuanya lantas memberinya ultimatum agar Tan Malaka segera pulang.

Akhirnya, setelah dua kali gagal, pada November 1919, Tan Malaka berhasil lulus dan mendapatkan ijazahnya yang disebut Hulpactie. Belanda menjadi negeri yang membentuk Tan Malaka . Di negeri ini, Tan Malaka mengenal sosialisme. Dia kerap membaca koran, artikel dan segala macam buku aliran kiri. Belanda menjadi titik awal perjuangan Tan Malaka yang bercita-cita memerdekakan Indonesia dari penjajahan dan menerapkan keadilan bagi semua kelas sesuai sosialisme.

Kelak, Tan Malaka menjadi pencetus pertama berdirinya Republik Indonesia. Hal itu bahkan dibukukan dalam bukunya yang berjudul 'Naar de Republiek Indonesia' (menuju Republik Indonesia) pada 1925, beberapa tahun sebelum Bung Hatta dan Bung Karno menulis buku soal konsep kemerdekaan Indonesia.

Pemikiran Tan Malaka kemudian banyak dijadikan acuan Bung Karno dan tokoh pergerakan lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno bahkan memberi gelar Tan Malaka sebagai 'orang yang ahli dalam revolusi', sementara Moh Yamin dalam tulisannya di sebuah artikel koran menyebut Tan Malaka sebagai 'Bapak Republik Indonesia.'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun