Mohon tunggu...
Marda TillahiAkbar
Marda TillahiAkbar Mohon Tunggu... Lainnya - Aldi

matematika Allah SWT. lebih hebat dibandingkan matematika dunia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Eks Napi Koruptor Seharusnya Tidak Mengikuti Pilkada dan Tidak Boleh Mencobloskan Diri sebagai Calon Wakil Rakyat

2 Desember 2020   12:27 Diperbarui: 2 Desember 2020   12:29 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya akan menyampaikan opini mengenai “Eks Napi Koruptor Seharusnya Tidak Boleh Mengikuti Pilkada Dan Tidak Boleh Mencobloskan Diri Sebagai Calon Wakil Rakyat”. Siapapun pasti tahu siapa saja yang tidak boleh mengikuti pilkada. Seharusnya para koruptor tidak boleh mengikuti pilkada. Kenapa?, karena mereka melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat.

Tetapi menurut KPU, para koruptor tetap diperbolehkan untuk mengikuti pilkada, jika seorang koruptor itu telah keluar dari penjara setelah lima tahun. Ini merupakan keputusan dari MK. Keputusan MK ini mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, yang diajukan Perludem dan Indonesia Corruption Watch.

Lalu, apakah seorang koruptor diperbolehkan untuk mencobloskan diri sebagai calon daerah?. Menurut saya sendiri, sebenarnya ini dilarang karena dia pernah berkhianat pada rakyat. Artinya, dia enggak bisa bertanggung jawab dengan benar. Tetapi, menurut Mahkamah Agung (MA), telah memutus uji materi pasal 4 ayat 3 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta uji materi Pasal 60 huruf j PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Putusan tersebut berakibat pada berubahnya status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi Memenuhi Syarat (MS). Artinya, mantan napi korupsi diperbolehkan untuk maju sebagai calon wakil rakyat.

Masyarakat tentunya diperbolehkan untuk memberi pendapat dan mengeluarkan pendapat. Hal ini telah diatur oleh undang-undang 1945 pasal 28E ayat 3. Setiap orang berhak mengeluarkan pendapat mereka untuk menolak mengenai koruptor yang ingin mencobloskan diri ataupun koruptor yang ingin mengikuti pilkada di tahun mendatang. Dan memberikan pendapat apakah hal itu diperbolehkan ataupun tidak ataupun disetujui pihak MK atau tidak.

Bentuk penolakan yang dapat dilakukan masyarakat yaitu salah satunya Tidak memilih kepala daerah/wakil kepala daerah yang bersangkutan yang memiliki jejak koruptor pada saat pemilihan nanti dalam hal ini kita pun sebagai masyarakat harus betul-betul memilih wakil rakyat yang miliki transparansi dalam memimpin seperti ia memiliki sifat jujur, tanggung jawab, dan yang paling penting jauh dari memakan uang rakyat atau disebut juga koruptor, dan yang paling penting untuk kita semua saat pemilihan nanti jangan memilih pemimpin karena uang sogokan pada saat dibilik suara.

Ada satu orang yang berhasil menjadi anggota legislatif walaupun ia pernah koruptor, yaitu Muhammad Taufik, mantan Ketua KPU Jakarta yang pernah dijatuhi hukuman 18 bulan penjara karena terbukti melakukan korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004. Taufik yang diusung oleh Partai Gerindra kemudian ikut dalam Pemilu 2014 dan terpilih menjadi anggota legislatif bahkan sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta.

Saat ini lumayan banyak orang yang tidak ingin / tidak mau memilih orang telah korupsi sebagai calon wakil rakyat karena mereka takutnya masuk kelobang yang sama lagi. Maksudnya mereka merasa menjadi mantan para narapidana dengan kasus korupsi. Mereka ingin calon rakyatnya bersih dari pidana-pidana yang berdosa dan tidak benar seperti koruptor, kejahatan asusila dan lain sebagainya.

Menurut Mahkamah Konstitusi (MA), pecandu narkoba dan para kejaharan seksual tidak diperbolehkan untuk mengikuti pilkada di semua tahun. Karena mereka melakukan Tindakan yang terlalu berbahaya dan bisa merusak kabupaten beserta provinsi. Seorang pecandu narkoba mungkin saja mengirimkan narkobanya secara diam-diam walaupun ia terpilih sebagai calon wakil rakyat. Ataupun seorang kejahatan asusila, mungkin kabur dari tempatnya untuk mencari tempat baru untuk melakukan kejahatannya Kembali. KPU juga melarang bandar dan pemakai narkoba mencalonkan diri maju sebagai kepala daerah di Pilkada 2020.

Pilkada serentak tidak lama lagi akan dimulai. Pemerintah tetap bersikukuh melaksanakan pilkada, meski beberapa pihak menolak karena pandemik masih berlangsung. Alasan pemerintah dan penyelenggara pemilu adalah pandemik belum tahu kapan berakhir.Karena itu, mau tak mau masyarakat harus berpartisipasi dalam penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan ini. Khususnya, kalangan millennial atau generasi muda. Bagaimana cara millennial berpartisipasi? Tentu ada berbagai cara, di antaranya bisa membantu penyelenggara pemilu menyosialisasikan atau memberikan edukasi soal pilkada kepada lingkungan sekitar. Sekian dari opini saya. TERIMA KASIH.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun