Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Makna Penting di Balik Pemberian Gelar untuk Panglima TNI oleh Wali Nanggroe Aceh

6 Agustus 2018   09:05 Diperbarui: 6 Agustus 2018   09:22 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cukup lama juga berlangsung  masa konflik yang muncul di Aceh yang kita kenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Awal Konflik ini  ditandai dengan pernyataan perlawanan terhadap Pemerintah RI yang dikemukakan oleh Hasan Tiro,inisiator Gerakan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1974 di perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Aceh Pidie. Sepanjang yang saya ketahui konflik ini termasuk yang terlama yang pernah terjadi di negeri ini.

Selama konflik berlangsung diperkirakan menelan korban sekitar 15.000 jiwa. Sebagai sebuah gerakan ,GAM juga punya pasukan bersenjata dan pasukan bersenjata itu  sering disebut kombatan. Karenanya semasa konflik selama 29 tahun itu telah terjadi mungkin lebih ratusan kali kontak  bersenjata antara GAM dengan pasukan TNI/ Polri.

Perlawanan bersenjata GAM tersebut dihadapi Pemerintah RI dengan menggelar operasi militer di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dikenal dengan DOM (Darurat Operasi Militer). Operasi tersebut berlangsung pada paruh akhir 80-an sampai dengan penghujung 1990.

Di masa awal reformasi, GAM semakin eksis sehingga konflik antara Pemerintah RI terus berkelanjutan .Pemerintah kemudian pada tahun 2003 menerapkan status darurat militer untuk Aceh.

Konflik bersenjata itu baru berakhir pada 15 Agustus 2005 dengan ditanda tanganinya nota kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki, Finlandia .

Delegasi Indonesia pada perundingan damai itu terdiri dari Hamid Awaludin (Ketua), para anggota, Sofyan Djalil, Farid Husein, Usman Basya dan Agung Wesaka Puja. Sedangkan delegasi GAM terdiri dari Malik Mahmud ( Ketua), dr. Zaini Abdullah, Nur Djuli, Nurdin Abdurrachman dan Bachtiar Abdullah. Sedangkan dari pihak mediator terdiri atas Martti Ahtisaari, Hannu Himanen, Juha Christensen dan Maria.

Para perunding GAM itu sebahagian besar tinggal di Swedia bersama tokoh GAM yang paling berpengaruh Hasan Tiro. Para perunding GAM itu setelah perjanjian damai kembali ke Indonesia ( Aceh).Mereka kemudian mendirikan Partai Aceh ,sebuah partai lokal di Aceh.

Bernaung dibawah partai itu kemudian, perunding GAM di Helsinki, dr Zaini Abdullah berpasangan dengan Muzakkir Manaf, mantan Panglima GAM ikut bertarung pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur Aceh. Pasangan ini memenangkan pertarungan demokrasi itu dan terpilih menjadi Gubernur - Wakil Gubernur masa bakti 2012-2017.

Sedangkan Malik Mahmud, Ketua Delegasi GAM pada perundingan Helsinki kemudian menjabat sebagai Wali Nanggroe Aceh. Wali Nanggroe adalah sebuah lembaga yang dibentuk menindak lanjuti isi perjanjian Helsinki.

Turunan dari isi perjanjian ini dituangkan dalam sebuah produk hukum yakni Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Ketentuan tentang pembentukan lembaga Nanggroe ini kemudian diatur dalam Qanun  (sejenis Perda).

Lembaga Wali Negara adalah sebuah lembaga yang mengatur kepemimpinan  adat di Aceh. Lembaga ini bertindak sebagai pemersatu masyarakat Aceh dibawah prinsip prinsip yang independen. Lembaga wali nanggroe juga memangku kewibawaan dan kewenangan dalam membina serta mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga lembaga adat, upacara upacara adat serta melaksanakan penganugrahan gelar atau derajat kehormatan.

Dengan fungsi yang demikian terlihatlah bahwa Malik Mahmud ,Wali Nanggroe Aceh punya posisi protokoler yang tinggi. Dengan posisinya yang demikianlah ,Malik Mahmud ,Wali Nanggroe Aceh pada Sabtu,4 Agustus 2018 telah menganugrahkan gelar kepada Panglima TNI .

Marsekal Hadi Tjahjanto diberi gelar kehormatan adat Aceh " Sri Lela Wangsa". Pemberian gelar yang demikian baru pertama kali diberikan oleh Wali Naggroe.Penganugrahan tersebut ditandai dengan pemakaian topi kebesaran dan selendang adat Aceh oleh Wali Nanggroe Aceh Tengku Malik Mahmud Al Haytar bertempat di gedung Wali Nanggroe Aceh, jalan Lamblang Manyang, Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar.

Saya menilai pemberian gelar itu punya makna penting karena selama berlangsungnya konflik bersenjata di Aceh  tentu pasukan TNI terlibat langsung dalam kontak senjata dengan pasukan GAM bahkan juga dengan anggota masyarakat yang bersimpati kepada gerakan itu.

Ekses dari hal tersebut bisa menuai berbagai hal negatif misalnya rasa luka,sakit hati dan bisa juga munculnya persepsi negatif terhadap anggota TNI.
Untuk menghapus berbagai kenangan negatif itulah terlihat makna yang sangat dalam dari penganugrahan gelar itu. Pemberian gelar itu juga semakin menguatkan rasa damai serta menguatkan rasa persatuan sesama anak bangsa.

Bangsa ini sangat mencintai Aceh. Bangsa ini juga sangat menghargai perjuangan heroik Aceh melawan penjajah. Bangsa ini juga tidak pernah melupakan bagaimana masyarakat Aceh pada awal kemerdekaan mengumpulkan dana dengan sukarela membeli sebuah pesawat terbang untuk Indonesia, negara yang sama sama kita cintai.

Pesawat itu kita kenal dengan nama Seulawah 001. Selamat untuk Marsekal Hadi Tjahjanto.Rasa terima kasih untuk Wali Nanggroe.
Damailah negeriku ,damailah bangsaku!

(Sumber:Wikipedia serta sumber lainnya)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun