Pernahkah seorang guru merasa lelah luar biasa, padahal tidak sedang menghadapi minggu ujian atau akreditasi sekolah? Tidak ada proyek tambahan, tidak ada rapat darurat, tidak juga konflik yang menyita emosi. Tapi entah mengapa, tubuh terasa berat, kepala penuh, dan hati seperti kehilangan tenaga. Bisa jadi penyebabnya sederhana: terlalu sering berkata "iya."
Di sekolah, banyak pendidik terbiasa menolong---menggantikan rekan yang izin, menjadi panitia spontan, menyusun laporan mendadak, atau sekadar membantu "sedikit" urusan administrasi.
 Semua dilakukan dengan niat baik, tanpa banyak pikir. Namun di balik setiap "iya kecil" yang tampak sepele, ada harga yang pelan-pelan harus dibayar: hilangnya fokus, waktu, dan batas diri. Kelelahan yang muncul bukan sekadar fisik, melainkan eksistensial.
1. "Iya" Kecil, Harga yang Tak Kecil
Setiap "iya" yang kita ucapkan adalah bentuk kecil dari pengorbanan. Dalam ruang sekolah yang kental dengan semangat solidaritas, kata itu sering terdengar mulia. Namun, seperti garam dalam masakan, jika terlalu banyak, rasa keseluruhan menjadi berlebihan.
Pertama, fokus yang terpecah. Setiap permintaan tambahan ibarat membuka tab baru di otak. Dua atau tiga tab mungkin masih aman. Tapi ketika sudah belasan, pikiran menjadi seperti browser yang kelebihan beban: lambat, teralihkan, dan kehilangan kemampuan berpikir strategis. Guru sulit memusatkan perhatian pada hal penting---proses belajar yang bermakna, refleksi hasil mengajar, atau evaluasi diri.
Kedua, waktu yang tak bisa kembali. Jam-jam yang terpakai untuk tugas tak prioritas sejatinya adalah jam yang tidak akan kembali. Waktu itu mestinya bisa dipakai untuk membaca, mendalami kompetensi pedagogik, atau sekadar istirahat sejenak dari layar laptop. Ketika seseorang terus-menerus menukar waktunya demi kepentingan orang lain, ia perlahan menjauh dari panggilan profesionalnya sebagai pendidik.
Ketiga, batas diri yang kabur. Rasa sungkan dan takut mengecewakan sering membuat guru kehilangan kendali atas dirinya. Ketika "iya" diucapkan tanpa pertimbangan, batas antara pengabdian dan pengorbanan mulai pudar. Lama-lama, guru merasa tak punya ruang pribadi lagi---semua waktunya diambil, semua tenaganya diminta. Di titik ini, burnout tidak hanya soal kelelahan, tapi kehilangan makna dalam memberi.
Fenomena ini memperlihatkan sisi rapuh dari kebaikan. "Terlalu baik" bisa menjadi jebakan yang halus: seseorang tampak altruistik di luar, tetapi di dalam dirinya, perlahan terjadi pengikisan kesadaran diri. Guru yang terlalu sering memikul beban kolektif tanpa batas, lambat laun kehilangan kepekaan terhadap kebutuhan jiwanya sendiri.
2. Batas Diri: Antara Memberi dan Melindungi Diri