Terima Kasih dan Maaf kepada yang Membenci
Ucapan terima kasih dan maaf paling tinggi nilainya justru ketika ditujukan kepada mereka yang sulit kita cintai. Terima kasih kepada orang yang menyakiti berarti kita mampu melihat pelajaran di balik luka. Maaf kepada orang yang membenci berarti kita membebaskan diri dari rantai dendam. Inilah bentuk humility yang paling radikal: menempatkan diri sebagai humus, yang meski diinjak dan diabaikan, tetap memberi kesuburan (Nussbaum, 2016).
Dalam praksis pendidikan, hal ini sangat relevan. Murid yang mampu berterima kasih kepada teman yang pernah merundungnya sesungguhnya menunjukkan kematangan emosional. Guru yang mampu memaafkan kritik keras dari orangtua murid dengan hati terbuka sesungguhnya sedang memperlihatkan teladan humility. Ketika pola ini menjadi budaya sekolah, Regina Pacis bukan hanya mencetak murid cerdas, tetapi juga pribadi yang matang secara spiritual dan sosial.
Hal ini sejalan dengan pandangan filsuf pendidikan John Dewey yang menekankan bahwa sekolah adalah miniatur masyarakat. Budaya yang tumbuh di sekolah akan terbawa ke masyarakat luas (Dewey, 1938/1997). Dengan demikian, membiasakan terima kasih dan maaf di sekolah adalah investasi kultural yang akan melahirkan masyarakat yang lebih rendah hati dan beradab.
Tantangan dan Harapan
Tentu, menghidupi humility di era modern bukan perkara mudah. Dunia yang terobsesi pada pencitraan dan kemenangan membuat kerendahan hati sering dianggap kelemahan. Mengucapkan terima kasih bisa dipandang sebagai bentuk ketergantungan. Mengucapkan maaf bisa ditafsirkan sebagai pengakuan kalah. Namun, justru di sinilah sekolah berperan. Regina Pacis Jakarta, dengan semangat Fransiskan, dapat menunjukkan bahwa humility bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang menyuburkan.
Tantangan lainnya adalah menjaga konsistensi. Budaya hanya akan kokoh bila dipraktikkan secara kolektif. Itu berarti guru, murid, staf, hingga pimpinan sekolah mesti bersama-sama menghidupi humility. Setiap relasi, baik di dalam kelas maupun di luar kelas, menjadi ruang belajar. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik murid, tetapi juga membentuk komunitas yang hidup dari kerendahan hati.
Harapannya, murid Regina Pacis akan membawa nilai ini ke luar sekolah. Mereka akan menjadi generasi yang mampu mengucapkan terima kasih dan maaf bahkan kepada orang yang membenci. Dalam dunia yang sarat konflik, generasi semacam ini akan menjadi "humus" yang menyuburkan kehidupan bersama.
Penutup
Humility, yang berakar dari humus, mengajarkan kita untuk menjadi tanah subur bagi sesama. Di Regina Pacis Jakarta, nilai ini diwujudkan dalam budaya mengucapkan terima kasih dan maaf. Dari pembiasaan kecil, lahirlah budaya besar. Dari keteladanan guru, lahirlah generasi yang rendah hati.
Pertanyaan yang tersisa bagi kita semua adalah: mampukah kita mengucapkan terima kasih dan maaf kepada orang yang kita benci? Jika mampu, di situlah humility sejati menemukan maknanya. Seperti humus yang diam di bawah tetapi memberi hidup, humility sejati bukanlah soal mengangkat diri, melainkan soal memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh.