Refleksi Nilai Humility dalam CHIPS Sekolah Regina Pacis Jakarta
Di ruang-ruang kelas Sekolah Regina Pacis Jakarta, percakapan sederhana kerap muncul di sela pembelajaran. Seorang murid yang tanpa sengaja menyenggol temannya bisa mendengar gumaman lirih: "Maaf ya." Begitu pula ketika seorang guru menutup pelajaran dengan ucapan "Terima kasih atas perhatian kalian hari ini." Sekilas tampak biasa, namun sesungguhnya di sanalah benih kebudayaan ditanam: budaya mengucapkan terima kasih dan maaf secara tulus. Pertanyaannya, apakah pembiasaan kecil semacam ini dapat bertumbuh menjadi budaya yang kokoh, bahkan ketika harus mengucapkannya kepada orang yang paling kita benci?
Di tengah arus kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, kerendahan hati atau humility sering kali dianggap sebagai kelemahan. Padahal, justru di situlah letak kekuatannya. Humility bukan berarti meniadakan diri, melainkan kesediaan memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh. Dari ruang kelas hingga lingkungan kerja, dari lingkup keluarga hingga kehidupan berbangsa, kerendahan hati menemukan relevansinya. Pertanyaannya, bagaimana sekolah dapat membentuk generasi muda agar humility tidak hanya menjadi slogan, melainkan napas keseharian?
Humility dan Akar Etimologis Humus
Kata humility berakar dari bahasa Latin humilitas, yang berasal dari kata humus, berarti tanah atau bumi. Namun, humus bukanlah sekadar tanah secara umum. Ia adalah lapisan paling subur yang terbentuk dari pelapukan daun, ranting, dan organisme hidup. Humus menempati lapisan paling bawah, tetapi justru dari situlah kehidupan baru bertumbuh. Filosofi ini memberi makna mendalam: kerendahan hati sejati adalah kerelaan menjadi "tanah subur" yang menopang kehidupan sesama (White, 2015).
Dalam perspektif ekologi, humus memberi nutrisi bagi tumbuhan, menjaga kelembaban, dan menahan erosi. Dengan kata lain, humus adalah fondasi kehidupan yang tidak selalu tampak di permukaan, tetapi vital bagi keberlangsungan ekosistem. Jika ditarik dalam perspektif filosofis, humility berarti kesediaan menempatkan diri sebagai dasar yang memungkinkan orang lain tumbuh dan berkembang. Guru yang rendah hati, misalnya, rela menahan ego untuk mendengarkan muridnya. Ia mungkin tidak selalu terlihat heroik, tetapi keberadaannya menyuburkan ruang belajar yang sehat.
Santo Fransiskus dari Assisi, yang menjadi inspirasi spiritualitas Fransiskan, menyebut dirinya frater minor---saudara kecil. Fransiskus melihat kerendahan hati bukan sebagai penghapusan diri, melainkan cara untuk menyuburkan persaudaraan. Ia berdiri di hadapan alam dan sesama bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai bagian yang memperkaya kehidupan bersama (Delio, 2013). Dari sinilah jelas bahwa humility tidak bisa berhenti pada sikap personal, melainkan harus menjadi pola hidup bersama.
Dari Pembiasaan ke Budaya
Di Regina Pacis Jakarta, praktik sederhana seperti mengucapkan "terima kasih" dan "maaf" menjadi bagian dari pembiasaan harian. Anak-anak belajar bahwa mengucapkan terima kasih bukan sekadar formalitas, melainkan pengakuan atas kebaikan orang lain. Mengucapkan maaf pun bukan sekadar menyelesaikan konflik, melainkan pengakuan atas keterbatasan diri dan penghargaan terhadap martabat sesama. Dalam pedagogi Fransiskan, pembiasaan semacam ini adalah pintu menuju budaya yang lebih luas: budaya kerendahan hati (Rahardjo, 2021).
Namun, perjalanan dari pembiasaan menuju budaya tidaklah instan. Dibutuhkan keteladanan. Guru yang mampu mengucapkan maaf kepada muridnya saat salah menilai pekerjaan, sesungguhnya sedang menanam benih humility. Murid yang terbiasa mendengar dan mengalami hal itu akan meneladani dan mengulanginya dalam relasi dengan sesama. Inilah mekanisme "humus" yang bekerja: diam, sederhana, tetapi memberi kesuburan bagi ekosistem sosial.
Budaya sejati tidak lahir dari paksaan, melainkan dari kebiasaan yang dihidupi secara konsisten hingga menjadi nilai bersama. Ketika terima kasih dan maaf telah menjadi budaya, ia tidak lagi berhenti pada relasi akrab atau suasana nyaman. Tantangan terbesarnya adalah mengucapkannya kepada mereka yang tidak kita sukai, atau bahkan kepada mereka yang pernah menyakiti kita.