Sore hari, seorang anak duduk di meja makan dengan buku PR matematika terbuka. Di sampingnya, sang ibu duduk sambil terus mengingatkan, "Cepat selesaikan! Jangan main dulu!" Anak itu menghela napas, sekadar menyalin rumus tanpa sungguh memahami. Adegan seperti ini akrab di banyak rumah Indonesia. Orangtua sering berada di dua kutub: terlalu ikut campur atau justru lepas tangan.
Pertanyaannya, apakah cara seperti ini benar-benar membantu anak tumbuh sebagai pembelajar mandiri? Ataukah justru membuat anak tergantung, sekadar belajar karena diperintah? Dunia kini menuntut lebih dari sekadar kepatuhan. Anak-anak butuh keterampilan mengatur diri sendiri, agar bisa terus belajar sepanjang hayat.
Inilah esensi self-regulated learning (SRL) atau regulasi diri dalam belajar, sebuah konsep yang kini makin relevan dalam praktik parenting.
Apa Itu Regulasi Diri dalam Belajar?
Menurut Dale H. Schunk dan Jeffrey A. Greene (2017), regulasi diri adalah kemampuan murid untuk mengatur pikiran, motivasi, perilaku, dan emosi agar tujuan belajar tercapai. Anak dengan regulasi diri mampu merencanakan apa yang akan dipelajari, melaksanakan strategi, serta merefleksikan hasilnya.
Barry Zimmerman (2001) menyebut SRL sebagai siklus tiga tahap: forethought (perencanaan), performance (pelaksanaan dan pemantauan), dan self-reflection (refleksi). Anak yang terbiasa menjalani siklus ini akan lebih tahan terhadap kegagalan dan tidak cepat menyerah.
Bedanya dengan sekadar "anak rajin"? Anak rajin mungkin selalu mengerjakan PR tepat waktu, tetapi belum tentu tahu strategi belajarnya. Anak dengan regulasi diri akan bertanya, "Bagaimana cara paling efektif belajar bab ini? Mengapa kemarin saya salah menjawab soal?" Regulasi diri menekankan kesadaran, bukan sekadar rutinitas.
Dari Pengawas ke Pendamping
Sayangnya, banyak orangtua di Indonesia masih terjebak menjadi "polisi belajar". Anak dipaksa duduk, diberi target nilai, dan dikritik keras bila gagal. Padahal, penelitian Pomerantz, Grolnick, dan Price (2005) menunjukkan bahwa keterlibatan orangtua yang suportif jauh lebih efektif dibanding pendekatan kontrol penuh.
Pendekatan suportif berarti orangtua hadir sebagai mentor, bukan pengawas. Mereka memberi ruang bagi anak untuk mencoba strategi sendiri, sekaligus siap membantu bila anak mengalami kesulitan. Dengan begitu, anak belajar bahwa belajar adalah tanggung jawab dirinya, bukan semata tuntutan orangtua.
Seorang ayah yang sabar mendengar keluh kesah anak setelah ujian matematika, lalu bertanya, "Menurutmu apa yang bisa dilakukan berbeda untuk ujian berikutnya?" sedang melatih refleksi. Pertanyaan sederhana ini jauh lebih berharga daripada sekadar berkata, "Kok nilaimu jelek?"