Di era Gen Z yang ditandai dengan keterhubungan digital, keberagaman bukan sekadar realitas, tetapi juga dinamika yang membentuk cara mereka berpikir dan berinteraksi. Generasi ini tumbuh dalam dunia yang serba cepat, di mana batas geografis semakin pudar dan interaksi lintas budaya terjadi setiap hari melalui media sosial, game online, dan komunitas global. Mereka lebih terbuka terhadap perbedaan, tetapi juga menghadapi tantangan dalam memahami makna kebhinekaan yang lebih mendalam, terutama dalam membangun kesadaran akan keberagaman global dan kepedulian sosial.
Sebagai bentuk komitmen dalam menanamkan nilai kebhinekaan, SMA Regina Pacis Jakarta menyelenggarakan Pekan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) pada 10-14 Februari 2025. Selama lima hari, peserta didik diajak untuk menelusuri kebhinekaan dari berbagai perspektif---diri sendiri, budaya, hingga dunia global---melalui refleksi, literasi, workshop kreatif, dan kunjungan diplomatik. Kegiatan ini tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga membentuk karakter yang inklusif dan toleran, sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan multikultural yang digaungkan oleh James A. Banks (2009), seorang pionir dalam kajian pendidikan berbasis kebhinekaan.
Mengenali Kebhinekaan dalam Diri
Hari pertama diawali dengan refleksi mendalam mengenai identitas keberagaman dalam diri. Peserta didik diajak untuk mengenali akar budaya mereka sendiri dan memahami bagaimana keberagaman membentuk karakter individu. Sesi ini memperkenalkan konsep etika dalam keberagaman, menekankan bahwa perbedaan bukanlah hambatan, melainkan sumber daya sosial yang dapat memperkaya kehidupan bersama.
Setelah refleksi, sesi literasi kebhinekaan mengajak peserta memahami multikulturalisme dan peran budaya dalam kehidupan sosial. Sebagaimana konsep dari Bhikhu Parekh (2006) tentang pluralisme budaya menjadi lantas bisa jadi dasar dalam diskusi lanjut di moment berikutnya. Konsep itu  menunjukkan bahwa kebhinekaan bukan sekadar variasi budaya, tetapi juga mekanisme sosial yang memungkinkan koeksistensi damai dalam masyarakat majemuk.
Workshop Kreatif: Menyampaikan Kebhinekaan dalam Media
Hari kedua diisi dengan workshop pembuatan konten kebhinekaan, di mana peserta didik belajar mengekspresikan pesan toleransi melalui berbagai media kreatif. Mulai dari video pendek, infografis, hingga tulisan reflektif, mereka menuangkan gagasan tentang keberagaman dalam format yang mudah dipahami masyarakat luas. Kegiatan ini mengacu pada pendekatan Paulo Freire (1970) yang menekankan bahwa pendidikan harus bersifat dialogis dan memungkinkan siswa untuk menjadi subjek dalam pembelajaran, bukan sekadar objek pasif.
Kunjungan Diplomatik: Menjelajahi Perspektif Global
Pada hari ketiga, peserta didik melakukan kunjungan ke Kedutaan Besar Irak, @America, dan Institut Franais d'Indonsie (IFI). Melalui interaksi dengan diplomat dan pakar budaya, mereka memahami bahwa kebhinekaan bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga merupakan identitas global. Kunjungan ini menegaskan gagasan Anthony Giddens (1999) tentang globalisasi yang menciptakan keterhubungan erat antarbudaya, sehingga memahami perspektif dunia menjadi keterampilan esensial bagi generasi masa depan.
Aksi Nyata: Unjuk Karya dalam Keberagaman
Sebagai puncak kegiatan, 12 kelompok peserta didik menampilkan pertunjukan yang memperlihatkan persinggungan budaya antara Indonesia dan berbagai negara. Berikut beberapa suguhan yang menarik perhatian:
Group 1 (@America): Permainan tradisional Bekel dari Indonesia dan Gonggi dari Korea.
Group 2 (Embassy Iraq): Peragaan busana tradisional dari lima negara, termasuk kebaya dari Indonesia.
Group 3 (@America): Peragaan baju tradisional dari Indonesia dan India.
Group 4 (IFI): Tari Kecak dari Indonesia dan Tari Kwan dari Thailand.
Group 5 (@America): Kuliner Pangsit (Indonesia), Mandu (Korea), dan Gyoza (Jepang).
Group 6 (IFI): Bakmi Jawa (Indonesia) dan Ramen (Jepang).
Group 7 (@America): Mitologi Nyi Roro Kidul (Indonesia) dan Ryugin (Jepang).
Group 8 (IFI): Hubungan bahasa Indonesia dan Belanda dalam perspektif sejarah.
Group 9 (IFI): Kuliner Leker (Indonesia) dan Crepes (Perancis).
Group 10 (IFI): Kesamaan Lumpia dari Indonesia dan Filipina.
Group 11 (@America): Wayang Golek (Indonesia) dan Bunraku (Jepang).
Group 12 (@America): Sate (Indonesia) dan Yakitori (Jepang).
Melalui pertunjukan ini, peserta didik tidak hanya menampilkan kreativitas, tetapi juga memahami bahwa budaya memiliki nilai universal yang menghubungkan berbagai bangsa.
Menanamkan Toleransi Sejak Dini
Pekan P5 ini bukan sekadar eksplorasi budaya, tetapi juga perjalanan membangun karakter. Dengan memahami bagaimana budaya berkembang dan berinteraksi, peserta didik mampu melihat dunia dengan perspektif lebih luas dan terbuka. Generasi Z, yang lahir dalam ekosistem digital, memiliki peluang besar untuk menjadi agen perubahan dalam membangun dunia yang lebih inklusif dan toleran. Kesadaran akan keberagaman global dan kepedulian sosial menjadi modal utama mereka dalam membangun peradaban yang lebih harmonis.
Menurut UNESCO (2017), pendidikan berbasis kebhinekaan mampu mencegah konflik sosial dan menciptakan masyarakat yang lebih harmonis. Oleh karena itu, program seperti ini menjadi investasi berharga dalam membentuk generasi yang siap hidup dalam keberagaman global.
Sebagaimana benang merah yang menghubungkan berbagai budaya dalam unjuk karya mereka, semoga semangat kebhinekaan ini terus mengalir dalam setiap langkah peserta didik ke depan. Dunia bukan lagi tentang 'kita' dan 'mereka', melainkan tentang 'kita semua' yang hidup bersama dalam harmoni keberagaman. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI