Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tranformasi Pendidikan di Tanah Lamaholot: Menuju Generasi Emas Flores Timur dengan Spirit Collective Leadership

23 Mei 2024   18:00 Diperbarui: 23 Mei 2024   18:11 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Dokumen Pribadi

Oleh Yulius Maran - Pegiat Pendidikan ( Jakarta)

Flores Timur, sebuah kepulauan yang kaya dengan budaya dan potensi, kini berada di ambang transformasi besar dalam sektor pendidikan. Lompatan jauh Flores Timur siap mengawal cita besar tersebut. Dengan berlandaskan pada spirit model kepemimpinan demokratis ala collective leadership, transformasi ini berambisi membangun generasi emas yang siap menghadapi tantangan abad ke-21. Pendekatan ini tidak hanya sejalan dengan tradisi lokal tetapi juga mendapat dukungan dari berbagai teori pendidikan modern. Collective leadership merupakan model kepemimpinan kolaboratif di mana semua pemangku kepentingan terlibat dalam pengambilan keputusan.

Tulisan ini terinspirasi oleh momen deklarasi Barisan ADD di Jakarta pada Minggu, 12 Mei 2024, serta obrolan penuh semangat anak rantau yang ingin membangun tanah Lamaholot FLores Timur selaras dengan gagasan langkah strategis membangun Flores Timur terkhusus dalam dunia pendidikan oleh Bakal Calon Bupati Flores Timur periode 2024-2029, Bapak Anton Doni Dihen ( ADD).

Generasi Emas: Investasi pada Usia Dini

Pendidikan usia dini dan dasar merupakan pondasi utama dalam membentuk generasi yang unggul. Teori Thorndike tentang "law of effect" menggarisbawahi pentingnya memberikan stimulasi positif pada anak-anak untuk memperkuat perilaku dan pembelajaran yang diinginkan. Pemberian penghargaan dan penguatan positif terhadap prestasi anak, khususnya dalam penguasaan Bahasa Inggris, akan membentuk fondasi yang kuat untuk perkembangan mereka di masa depan. Bahasa Inggris, sebagai bahasa global, membuka akses anak-anak Flores Timur ke sumber daya informasi yang lebih luas dan peluang internasional. Melalui program pengajaran yang menyenangkan dan interaktif, anak-anak dapat belajar Bahasa Inggris secara alami, yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia luar sejak dini.

Selain itu, pemikiran Piaget dan Vygotsky yang menekankan pentingnya interaksi sosial dan lingkungan dalam perkembangan kognitif anak dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan usia dini di Flores Timur. Pembelajaran Bahasa Inggris tidak hanya diajarkan secara teoritis tetapi juga melalui kegiatan bermain dan kolaboratif yang melibatkan interaksi dengan teman sebaya dan guru. Metode ini sejalan dengan teori Vygotsky tentang "zone of proximal development" di mana anak-anak belajar lebih efektif ketika mereka berinteraksi dengan orang lain yang lebih berpengalaman. Lingkungan belajar yang mendukung dan kolaboratif ini akan membantu anak-anak tidak hanya menguasai Bahasa Inggris tetapi juga mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang penting.


Kombinasi antara penguasaan bahasa dan penumbuhan karakter yang baik akan membekali anak-anak Flores Timur dengan kompetensi yang diperlukan untuk bersaing di tingkat global, sekaligus menjaga identitas dan nilai-nilai lokal yang mereka miliki.

Kemerdekaan dan Memerdekakan Guru

Guru adalah pilar utama dalam pendidikan. Sebagai agen perubahan, mereka memerlukan dukungan berkelanjutan melalui program pelatihan yang relevan dan akses terhadap sumber daya modern seperti perpustakaan digital dan internet. Ki Hadjar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan harus "menghidupi" (memberi kehidupan) dan bukan hanya "mengisi" otak anak. Ini relevan dengan pemikiran Vygotsky tentang "scaffolding", di mana guru memberikan dukungan yang dibutuhkan siswa untuk mencapai potensi penuh mereka. Namun, untuk dapat memberikan dukungan yang optimal, guru itu sendiri harus merasa merdeka dan termotivasi dalam menjalankan tugas mereka.

Dalam bukunya "Bereskan Dirimu Dulu", Gary John Bishop menekankan bahwa transformasi sejati dimulai dari dalam diri. Guru yang merdeka, yang mampu beradaptasi dan memberi inspirasi, adalah mereka yang sudah beres dengan dirinya sendiri. Kemerdekaan internal ini memungkinkan mereka untuk menghadapi berbagai tantangan dengan lebih fleksibel dan kreatif. Guru yang merdeka akan lebih mudah menyesuaikan pengembangan kurikulum dengan kebutuhan siswa, serta mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan efektif. Mereka tidak terjebak dalam birokrasi atau rutinitas yang membatasi, melainkan mampu melihat peluang untuk inovasi dan pengembangan.

Namun, tidak semua guru secara otomatis mencapai kemerdekaan tersebut. Sistem pendidikan dan birokrasi harus memainkan peran penting dalam memfasilitasi kemerdekaan guru. Ini termasuk memberikan dukungan dalam bentuk kesejahteraan yang layak, kesempatan pelatihan yang memadai, dan lingkungan kerja yang kondusif. Sebagaimana dinyatakan oleh Steven Pinker, motivasi intrinsik dan kondisi kerja yang baik adalah kunci untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas tenaga pengajar. Ketika guru merasa dihargai dan didukung, mereka lebih termotivasi untuk berkontribusi secara maksimal dalam proses pendidikan. Artinya kesejahteraan guru  harus ditingkatkan agar mereka dapat berkonsentrasi penuh pada tugas mereka. Perlu sistem kesejahteraan yang adil dan berdasarkan kompetensi dapat mendorong guru untuk terus berkembang dan memberikan yang terbaik bagi siswa mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun