Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Orang Jawa di Gorontalo, Jadi Petani Kakao yang Tangguh

31 Januari 2020   18:11 Diperbarui: 15 Mei 2022   19:34 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani kakao asal Jawa di Desa Makarti Jaya sedang melakukan pemilihan biji kakao (Dokpri))

Kabupaten Pohuwato Propinsi Gorontalo adalah salah satu daerah penempatan transmigrasi, utamanya dari Pulau Jawa serta campuran populasi yang berasal dari Pulau Bali dan Lombok. 

Setelah dua dekade, Taluditi dan Randangan sekarang telah berkembang menjadi dua kecamatan dengan populasi 25.500 jiwa atau sekitar 17.5 persen dari total penduduk Kabupaten Pohuwato tahun 2018.

Program transmigrasi adalah program yang dirancang pemerintah untuk membuat perimbangan penduduk antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa yang timpang, redistribusi lahan bagi petani tanpa lahan, juga turut membentuk wajah multikulturalisme di luar Pulau Jawa serta medium terjadinya akulturasi dan difusi kebudayaan. Selain soal-soal yang disebut di atas, tujuan eksplisit lainnya adalah mengurai persoalan kemiskinan.

Dalam konteks terakhir, bagi transmigran Jawa-Bali yang terbiasa dengan lahan basah dengan irigasi yang baik, mengubah nasib dengan mengolah lahan kering tanpa irigasi yang dialokasikan (rata-rata) 1-1.5 hektar per kk tidak semudah yang dibanyakan oleh perencana pembangunan. Alih-alih menjadi petani tanaman pangan, sebagian besar transmigran justru menjadi petani kakao (tanaman cash crop).

Difusi pertanian dan modifikasi sistem kebun kakao 

Datang dari latang belakang petani padi dan palawija yang berpengalaman di Pulau Jawa, orang Jawa yang ditempatkan di Kabupaten Pohuwato memodifikasi sistem kebun kakao, sistem yang telah berkembang sebelumnya oleh penduduk lokal di Sulawesi--seperti kita tahu, sebelum berangsur-angsur surut, penduduk Sulawesi adalah penghasil biji kakao terbesar di Indonesia.  

Bentuk pertama, bentuk paling sederhana dari sistem kebun ini adalah kombinasi tanaman kakao dan rumput gajah dimana rumput gajah ditanam pada tepiann, sementara kakao ditanam dalam interior kebun dengan kerapatan 800-9.000 pohon per hektar. 

Output dari sistem ini adalah tidak terjadi persaiangan diantara tanaman untuk mendapatkan sinar matahari maupun perebutan nutrisi. Kedua jenis tanaman dapat tumbuh serasi. 

Dengan demikian, produktivitas kakao dapat di dorong optimum demikian halnya dengan pertumbuhan rumput yang mendukung usaha peternakan. Hal menarik dari integrasi dua tanaman ini adalah penempatan rumput pada tepian kebun dapat memaksimalkan penggunaan ruang sekaligus menangkap pupuk yang terbuang dari lahan yang digerus air hujan ke tepian.

Kakao kerapatan tinggi dapat dipertanakan dengan pemanfaatan tepian dan tanaman pelindung yang mendukung pemeliharaan ternak besar (Dokpri)
Kakao kerapatan tinggi dapat dipertanakan dengan pemanfaatan tepian dan tanaman pelindung yang mendukung pemeliharaan ternak besar (Dokpri)

Penambahan rumput gajah dalam sistem kebun kakao ini tidak berhubungan langsung dengan kakao---seperti halnya dengan tanaman pelindung-namun berhubungan dengan ternak besar (sapi dan kambing) yang dipelihara menggunakan ouput dari unit lahan yang sama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun