Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Melihat Obyektivitas Media dan Peranan Dewan Pers

17 Februari 2017   05:06 Diperbarui: 8 Februari 2020   15:08 3278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sudah objektifkah media kita? (Sumber: Sporttourism.id).

Pemerintah dalam hal ini mempunyai sejumlah alat hukum yang mengatur aktivitas industri media di Indonesia. Diantaranya UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan melalui SK Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tanggal 24 Maret 2006. Dewan Pers sendiri pada mulanya hanyalah sebuah lembaga yang didirikan sebagai “penasihat” bagi pemerintah dalam membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional (Pasal 6 ayat (1) UU No.11/1966). Sedangkan Ketua Dewan Pers saat itu dijabat oleh Menteri Penerangan (Pasal 7 ayat (1)).

Dewan Pers baru menjadi lembaga independen pada tahun 1999 seiring pergantian kekuasaan dari Orde baru ke Orde Reformasi. Ketetapannya melalui Undang-Undang No. 40 tahun 1999 Tentang Pers yang diundangkan tanggal 23 September 1999. Hubungan struktural antara Dewan Pers dengan pemerintah diputus, terutama sekali dipertegas dengan pembubaran Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. 

Sejak saat itu, tidak lagi ada wakil pemerintah dalam keanggotaan Dewan Pers seperti yang berlangsung selama masa Orde Baru. Meskipun pengangkatan anggota Dewan Pers tetap melalui Keputusan Presiden, namun tidak ada lagi campur tangan pemerintah terhadap institusi maupun keanggotaan Dewan Pers yang independen. Jabatan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers tidak lagi dicantumkan dalam Keputusan Presiden namun diputuskan oleh seluruh anggota Dewan Pers dalam Rapat Pleno.

Sementara fungsi Dewan Pers dinyatakan pada UU Pers Ayat 2, yaitu:

  • Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
  • Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
  • Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
  • Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
  • Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
  • Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
  • Mendata perusahaan pers.

Menurut ketentuan yang diungkapkan dalam UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers diatas, tampak bahwa Dewan Pers yang independen seyogyanya mampu menjaga kompetensi dan kredibilitas media dalam menyebarluaskan informasi yang berkualitas. 

Jadi inilah barometer pers dalam arus perpolitikan nasional. Dewan pers harusnya bisa berperan aktif untuk menjalankan fungsi pengawasannya.

Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana posisi Dewan Pers di Indonesia?

Banyak konsep teoritis yang telah diakomodasi dalam regulasi pers kita. Melalui regulasi dan Dewan Pers, pantas bila kita berharap media massa yang ada di republik ini mampu menjalankan fungsi dan perannya secara ideal, atau setidaknya mendekati ideal. Namun dalam praktiknya, sepertinya harapan itu masih jauh dari kenyataan. 

Dalam proses verifikasi misalnya, Dewan Pers baru memverifikasi 74 media dan yang belum terverifikasi dari media cetak saja, bisa mencapai 400-600 perusahaan. Untuk media online, keadaannya lebih parah lagi. Dari data Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia, setidaknya saat ini terdapat 43.000 media abal-abal, yang didominasi media online. Tentu kita tidak bisa menuntut obyektifitas dari media-media semacam ini. 

Dalam perannya untuk menyelesaikan kasus pers, aksi mediasi yang dilakukan Dewan Pers dalam menyelesaikan berbagai kasus pers boleh jadi dekat dengan model answerbility dimana penyelesaian masalah dilakukan secara non-konfrontasi melaui dialog dan negosiasi. Tetapi yang perlu dicatat, McQuail (2005) mengajukan alternatif model akuntabilitas ini dengan maksud supaya khalayak turut serta memberikan “sanksi sosial” terhadap pelanggaran yang dilakukan media melalui opini, kecaman, atau aksi lainnya. Sanksi sosial tersebut diharapkan bisa membawa perubahan yang lebih baik bagi kualitas pemberitaan media.

Sanksi secara legalitas (kalau ada) diserahkan sepenuhnya pada organisasi wartawan (PWI, AJI, dan sebagainya) atau perusahaan media tempat oknum bekerja. Siapa yang bisa menjamin bahwa organisasi wartawan dan perusahaan media itu bisa secara obyektif memberikan sanksi kepada oknum, bila ada kepentingan yang bermain dalam internal mereka?

Sementara masyarakat kita tampaknya belum cukup kritis dan berani dalam memberikan sanksi sosial terhadap pemberitaan media. Padahal sebuah pelanggaran tanpa adanya sanksi hanya akan menyuburkan dan melahirkan bentuk-bentuk pelanggaran yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun