Kekhawatiran dugaan pencemaran polisi udara tersebut bukanlah halusinasi semata. Riset yang dilakukan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada Oktober 2023 memberi gambaran lebih tegas, PLTU Suralaya Unit 1-7 dan unit 8 yang lebih dulu beroprasi menjadi salah satu sumber pencemaran udara paling serius di Banten.
Riset itu menyebut, partikel halus berbahaya seperti PM2.5, nitrogen dioksida, dan sulfur dioksida dilepaskan ke atmosfer dalam jumlah besar. Polutan yang tak terlihat mata itu justru lebih berbahaya, mampu menembus jauh ke paru-paru, memicu penyakit pernapasan kronis, bahkan kematian dini.
Dampaknya mengejutkan. Setiap tahun, pencemaran dari PLTU Suralaya diperkirakan merenggut 1.470 nyawa. Kerugian ekonomi akibat beban kesehatan mencapai Rp14,2 triliun. Angka itu bukan hanya statistik dingin, melainkan kenyataan pahit yang dialami 13 juta jiwa di Serang dan Cilegon, dari anak-anak yang tumbuh dengan paru-paru rapuh hingga pekerja yang kehilangan hari-hari produktif karena sakit.
Jamie Kelly, analis mutu udara CREA, menekankan bahwa pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah serius. Ia menyebut transisi menuju energi terbarukan harus segera dilakukan. Tanpa itu, udara bersih akan tetap menjadi barang mewah yang sulit dijangkau masyarakat di sekitar Suralaya.
CREA juga mendorong penerapan Best Available Technologies untuk menekan emisi. Dengan teknologi terbaik yang tersedia, polusi bisa ditekan, ratusan nyawa bisa terselamatkan, ribuan kasus asma pada anak bisa dicegah dan kerugian ekonomi dapat berkurang hingga triliunan rupiah setiap tahunnya.
Namun, bagi warga Suralaya dan Lebak Gede, teknologi canggih itu masih terdengar seperti janji jauh. Mereka butuhkan kini adalah kepastian akan hak dasar, yaitu udara yang bisa dihirup tanpa rasa takut.
Beberapa warga mencoba melindungi diri dengan masker, menyeka debu di perabot rumah setiap hari, atau sekadar menutup rapat jendela. Tapi mereka tahu, itu bukan solusi.
Sesungguhnya, polusi udara tidak mengenal pintu dan dinding. Ia menembus celah, menyusup ke dalam tubuh diam-diam, meninggalkan jejak sakit yang tak langsung terlihat.
Polemik fly ash adalah potret benturan antara kebutuhan energi dan hak atas lingkungan sehat. Kota industri seperti Cilegon kerap dibanggakan sebagai penopang listrik nasional, tetapi beban ekologisnya ditanggung oleh masyarakat kecil yang hidup berdampingan dengan tembok tinggi pembangkit.
Di sana, orang tua resah melihat anak-anak belajar sambil menghirup udara tercemar, sementara perusahaan memilih diam, dan pemerintah belum sepenuhnya berpihak.
Cerita ini mestinya menjadi pengingat keras. Udara bersih adalah hak, bukan hadiah. Jika polusi terus dibiarkan yang diwariskan pada generasi mendatang bukan kemajuan, melainkan langit kelabu dan tubuh yang rapuh.