Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Rahmatullah Safrai

Founder Sekumpul EduCreative dan Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Budaya Tercerabut, Ekosistem Rusak: Potret Luka Pembangunan Kota Cilegon

28 September 2025   19:51 Diperbarui: 28 September 2025   19:51 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mang Pram, Inisiator Diskusi Budaya dan menjadi moderator dalam pelaksanaan diskusi bersama para narasumber (foto Riskal Hakim)

Suara berikutnya datang dari Ibnu PS Megananda, budayawan Banten yang malam itu tampil dengan penuh semangat. Ia menegaskan bahwa kerusakan ekosistem tak hanya merusak fisik alam, tetapi juga menumbangkan tatanan sosial dan budaya.

"Semua ekosistem rusak, dari lingkungan hingga pola hidup kita," ujarnya. Ia mengingatkan bahwa julukan "kota santri" yang dulu membanggakan kini tergeser oleh gaya hidup pabrik. Pola hidup masyarakat yang dahulu selaras dengan musim tanam dan siklus alam kini berganti ritme jam masuk kerja dan target produksi industri.

Ibnu memberi contoh sederhana, ritual adat yang dulu selalu terkait dengan kesuburan tanah, musim panen, atau penghormatan pada alam, kini mulai jarang dilakukan. "Ini bukan hanya soal pohon yang ditebang, tapi akar budaya yang tercabut," tambahnya. Bahkan, Bahasa daerah Cilegon saja perlahan memudar oleh generasi saat ini, akibat hilangnya kesadaran menjaga Bahasa Ibu. Ucapannya membuat ruang hening sesaat, seolah setiap orang di dalam kafe itu merasakan kehilangan yang sama, meski dalam bentuk berbeda.

Ketika Cerobong Asap dan Laut Tercemar

Jika Muhammad Ibrohim Aswadi dan Ibnu Ps Megananda berbicara dengan bahasa kenangan dan budaya, Cholis dari Walhi Jakarta membawa suara data dan fakta lapangan. Sebagai aktivis lingkungan, ia terbiasa menghadapi realitas pahit yang tak terbantahkan.

Ia menuding PLTU Suralaya dan industri baja sebagai penyumbang utama kerusakan ekosistem di Cilegon. "Cerobong asap itu bukan hanya menghitamkan langit, tapi juga meracuni udara yang kita hirup," tegasnya. Cholis menjelaskan bagaimana limbah industri kerap dibuang ke laut, merusak ekosistem Teluk Banten.

Hasil investigasi Walhi menemukan kandungan kimia berbahaya di ikan-ikan yang ditangkap nelayan. Situasi ini bukan hanya mengancam kesehatan masyarakat, tapi juga menghancurkan sumber penghidupan tradisional. Nelayan yang dulu bisa hidup dari laut kini menghadapi tangkapan yang berkurang dan kualitas ikan yang tercemar.

Cholis juga menyoroti minimnya ruang terbuka hijau di Cilegon. Dari sisi tata ruang, ia menegaskan bahwa daya dukung lingkungan sudah overload. "Jika taat pada AMDAL, lingkungan kita akan aman," katanya. Tapi kenyataannya, aturan sering kali hanya formalitas, sementara laju pembangunan terus menekan ruang hidup masyarakat. Paparannya seperti alarm darurat yang mengingatkan: ekologi yang rusak sama artinya dengan budaya yang mati.

Harapan Gerakan Aktivis Lingkungan

Diskusi malam itu ditutup oleh Dani Setiawan dari Rhizoma Indonesia. Berbeda dengan nada getir sebelumnya, Dani membawa secercah harapan melalui jalur hukum dan gerakan sosial.

Ia menjelaskan dua kemajuan hukum terbaru di Indonesia. Pertama, Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 yang menegaskan bahwa aktivis lingkungan tidak bisa dituntut pidana maupun perdata karena perjuangan mereka. Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 196/PUU-XXIII/2025 yang memperluas perlindungan hukum bagi semua pihak yang melawan intimidasi atau gugatan saat memperjuangkan lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun