Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Rahmatullah Safrai

Founder Sekumpul EduCreative dan Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjaga Kearifan Budaya di Hadapan Kerusakan Ekosistem Cilegon

23 September 2025   19:24 Diperbarui: 25 September 2025   15:52 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Flayer Diskusi Budaya #4 (Foto Studio Seni Cilegon - Indra) 

Selayang Pandang TOR Diskusi Budaya #4

Di Cilegon, sebuah kota yang tumbuh dari besi, semen, dan cerobong asap, kita bisa mendengar dua cerita yang saling berlawanan. Di satu sisi, ada kisah pembangunan yang membanggakan, yaitu lapangan kerja, pelabuhan, Proyek pabrik PSN, dan pertumbuhan ekonomi yang diklem kota terkaya di Indonesia. 

Di sisi lain, ada bisikan getir yang jarang terdengar, yakni perubahan laut yang semakin keruh, sawah yang menyusut, udara yang tak lagi segar, dan tubuh-tubuh kecil yang batuk karena debu. Dua cerita ini hidup berdampingan, namun sering kali yang kedua tenggelam oleh riuh yang pertama.

Kerusakan ekosistem di Cilegon tidak lahir begitu saja. Ia tumbuh dari sebuah paradigma pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran utama. Cerobong pabrik dan jalan lingkar dianggap bukti keberhasilan, sementara hilangnya ruang hijau, sawah alih fungsi perumahan, abrasi pantai, atau nelayan yang tak lagi melaut, itu semua sering dicatat sebagai "biaya sampingan." 

Padahal, teori ekologi sudah sejak lama mengingatkan, krisis lingkungan kerap lahir dari tarik-menarik kepentingan antara negara, industri, dan masyarakat. Hampir selalu, masyarakat kecil yang paling sedikit berkontribusi pada kerusakanlah yang menanggung dampak paling berat.

Namun Cilegon sesungguhnya tidak pernah benar-benar miskin pengetahuan tentang bagaimana menjaga alam. Kearifan lokal, warisan yang sering kita abaikan, adalah semacam "ilmu ekologis" yang dikemas dalam bahasa adat, ritual, dan pantangan. Koentjaraningrat menyebut budaya bukan sekadar simbol, melainkan sistem pengetahuan dan teknologi yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. 

Jika kita perhatikan, nelayan memiliki cara menentukan musim melaut dengan membaca arah angin dan tanda-tanda langit. Petani tahu kapan saat yang tepat menanam, kapan harus memberi waktu tanah beristirahat, bahkan larangan adat agar tidak menebang pohon di dekat mata air. Semua itu adalah sistem pengelolaan ekologi yang tumbuh dari pengalaman panjang beradaptasi dengan alam.

Julian Steward, melalui teori ekologi budaya, menegaskan bahwa kebudayaan lahir dari upaya manusia beradaptasi dengan lingkungannya. Artinya, ritual laut, pantangan adat, hingga cara bertani tradisional bukanlah sekadar ekspresi spiritual, melainkan strategi bertahan hidup. 

Hilangnya kearifan lokal itu, entah karena modernisasi atau karena dianggap "kuno," berarti kita kehilangan alat penting untuk menghadapi krisis lingkungan.

Ironisnya, ketika industrialisasi merajalela di Cilegon, kearifan lokal justru tersisih. Tradisi menjaga laut dan sawah dianggap kalah penting dibanding rencana tata kota dan investasi. Hukum adat yang dulu mengatur perilaku manusia terhadap alam kini hanya tinggal cerita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun